Setoran Pajak Properti Rendah Karena Pemda Tak Update NJOP

Jakarta - Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak bakal mengejar perusahaan pengembang properti yang diduga masih banyak kurang bayar pajak. Selama ini pembayaran pajak sektor properti dinilai rendah, salah satu penyebabnya karena Pemda tak update Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).

Pengamat Perpajakan Darussalam mengatakan, penentuan NJOP ada di tangan Pemda. Biasanya, NJOP yang dibuat Pemda lebih kecil dari harga pasar sebenarnya.


"Jadi Pemda kurang update dengan harga pasar sehingga NJOP selalu di bawahnya, padahal harga pasarnya sudah tinggi. Hal ini buat semuanya berkurang, PPN, BPHTB, dan lain-lain," ungkap Darussalam kepada detikFinance, Kamis (27/6/2013).


Darussalam menambahkan, rendahnya setoran pajak sektor properti diperparah dengan aturan pengalihan pembayaran PBB dan BPHTB dari pemerintah pusat ke Pemda. Berdasarkan UU Pajak Daerah dan Retribusi, Pemda tidak berkewajiban membagi data terkait NJOP ke Ditjen Pajak.


"NJOP kan ada di Pemda, tidak dibagi datanya ke Ditjen Pajak. Itu berdasarkan UU pajak daerah dan retribusi," terangnya.


Masalah lain, lanjut Darussalam, adanya Surat Edaran dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang tidak mengharuskan validasi pajak oleh Ditjen Pajak sebelum pengalihan tanah bangunan.


"Jadi sejak 2011, tidak perlu validasi Ditjen Pajak sebelum pembeli meminta pengalihan, cukup dengan surat pernyataan notaris tentang pelunasan pajak. Kalau pernyataan saja kan bisa saja mereka belum bayar pajak," keluhnya.


"Jadi permasalahan di pajak properti ini karena Pemda belum siap, sehingga NJOP belum diupdate, tidak ada kewajiban membagi data ke Ditjen Pajak, dan muncul SE dari BPN tidak perlunya validasi Ditjen Pajak," ringkas Darussalam.


Darussalam mengungkapkan, penyelesaian masalah pajak properti ini salah satunya dengan pengambilalihan lagi aturan-aturan pungutan pajak yang sudah dilimpahkan dari Pemda kembali ke Ditjen Pajak. Selain itu, bisa juga cukup melakukan pemeriksaan dan audit terhadap pengembang.


"Apa harus ambil lagi untuk mengelola itu karena pemda belum siap? Sebenarnya sangat gampang menilai NJOP melalui audit terhadap pengembang," tegasnya.


Untuk itu, Darussalam menilai pemeriksaan terhadap pengembang ini tetap harus dilakukan. Hal ini untuk menambah penerimaan pajak.


"Sekarang untuk capai target kan lagi susah, artinya semua potensi harus diperiksa untuk menambah penerimaan, lumayan Rp 30 triliun untuk capai target," ujarnya.


Darussalam menyebutkan, ada 4 jenis potensi pajak di sektor properti yaitu PBB sebesar 0,5 persen dari NJOP, BPHTB sebesar 5 persen, Pajak atas Pengalihan Tanah dan Bangunan sebesar 5 persen, dan PPN sebesar 10 persen.


"Artinya bisnis ini potensinya besar, ini jumlah yang besar," tandasnya.


Sebelumnya, Kasi Hubungan Eksternal Ditjen Pajak Chandra Budi mengatakan, pihaknya akan melakukan pemeriksaan pembayaran pajak perusahaan-perusahaan properti. Karena, berdasarkan hasil penelitian Ditjen Pajak, terdapat potential loss (kerugian) akibat tidak dilaporkannya transaksi jual beli tanah atau bangunan.


"Secara nasional, mulai Juli 2013 ini Ditjen Pajak akan melakukan pemeriksaan terhadap wajib pajak yang bergerak di sektor properti. Menurut hasil penelitian awal Ditjen Pajak, ada potential loss penerimaan pajak akibat tidak dilaporkan transaksi sebenarnya jual-beli tanah/bangunan termasuk properti, real estat dan apartemen," jelas Chandra.


Menurut Chandra, potensi penerimaan pajak dari sektor ini berasal dari Pajak Penghasilan (PPh) Final Pasal 4 ayat 2 yaitu penghasilan yang diterima penjual (developer, pengembang), karena melakukan transaksi jual beli tanah/bangunan, dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas transaksi barang kena pajak berupa tanah/bangunan yang bukan kategori sangat sederhana.


(nia/dnl)