Kepala BPH Migas: Orang RI Sudah 'Dininabobokan' BBM Subsidi

Jakarta -Sejak 1 Agustus 2014, pemerintah melakukan pengendalian konsumsi bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Namun selama masih ada BBM bersubsidi, masyarakat akan mencari walau harus dengan sedikit berkorban.

Kepala Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) Andy Noorsaman Someng mengakui, walau solar subsidi di Jakarta Pusat dihapuskan, walau premium dihapuskan di semua SPBU di jalan tol, beberapa SPBU dibatasi waktu penjualan solar subsidi hanya pada 08.00-18.00, namun selama masih mudahnya mendapatkan BBM subsidi, masyarakat akan tetap mencari BBM subsidi.


"Selama BBM subsidi selalu tersedia dan mudah didapat, orang pasti nggak akan beralih ke BBM non subsidi. Mereka sudah terninabobokan sama yang namanya BBM subsidi," tegas Andy kala dihubungi detikFinance, Rabu (6/8/2014).


Andy menilai, konsumsi BBM bersubsidi sudah menjadi kebiasaan sehingga sulit diubah. "Ini kan masalah pola pikir dan perilaku masyarakat. Orang kaya dan mampu kalau masih ada solar subsidi tetap pilih yang subsidi walaupun mobilnya sekelas Toyota Fortuner," ujarnya.


Andy mengakui, banyak pihak yang pesimistis aturan pengendalian BBM subsidi kurang efektif. Misalnya solar subsidi di Jakarta Pusat dihilangkan, orang masih bisa membeli dengan mudah di Jakarta Timur, Utara, Barat, dan Selatan.


Atau premium di SPBU jalan tol dihapuskan, orang masih bisa mengisi sebelum masuk jalan tol.


"Tapi, aturan ini salah satu upaya kita agar menjaga agar BBM subsidi tersedia sampai akhir tahun. Jika kita tidak lakukan ini, maka besar kemungkinan sebelum akhir tahun jatah BBM subsidi sebesar 46 juta kiloliter habis," kata Andy.


Ia mengakui, masih ada pengusaha-pengusaha SPBU terutama yang di jalan tol keberatan dengan aturan penghapusan premium. Padahal dengan menjual BBM non subsidi, keuntungan yang di dapat jauh lebih banyak.


"Yang SPBU di Jakarta Pusat mau melaksanakan, kok SPBU di jalan tol nggak mau. Apalagi margin usaha lebih besar, yang BBM subsidi hanya Rp 180-Rp 200 per liter sementara yang non subsidi sampai Rp 400 per liter. Ini pola pikir dan memang masyarakat kita masih greedy (rakus)," tutupnya.


(rrd/hds)

Berita ini juga dapat dibaca melalui m.detik.com dan aplikasi detikcom untuk BlackBerry, Android, iOS & Windows Phone. Install sekarang!