Harga-harga Melambung Tinggi, Apakah Krisis Pangan Terjadi di RI?

Jakarta - Harga bahan pangan di tanah air tak lagi bisa berkompromi. Terjadi lonjakan harga di bahan makanan hingga sembako. Apa yang sebenarnya terjadi?

Wakil Ketua Fraksi PAN DPR RI yang merupakan Anggota Komisi IV mengungkapkan saat ini sebagian besar harga bahan pangan dan bahan pangan pokok terus naik lagi dan tak bisa dihindari.


"Krisis pangan terjadi di bumi khatulistiwa," ungkap Viva dalam keterangannya kepada detikFinance, Selasa (16/7/2013).


Kenapa hal itu terjadi? Viva menjelaskan sudah merupakan hal yang lumrah terjadi dan psikologi pasar bahwa setiap hari-hari besar agama terjadi kenaikan harga. Kemudian setelah itu harganya akan normal kembali.


"Tetapi jika kenaikan harganya sampai lebih dari 30% maka akan terjadi ketidakseimbangan yang ekstrim antara penawaran (supply) dan permintaan (demand). Meningkatnya kebutuhan barang di pasar tidak diimbangi oleh pasokan barang yang cukup sehingga menyebabkan kenaikan harga," paparnya.


Hal ini dipicu juga oleh sistem dan mekanisme distribusi barang yang inefisien sehingga biaya transportasi high cost. Menurutnya hal tersebut terjadi dengan ditandai oleh lambannya proses bea cukai sehingga proses pengeluaran barang di pelabuhan (laut dan udara) berjalan lama.


"Juga karena sarana dan prasarana transportasi yang rusak atau karena faktor jarak yang jauh antara sentra produksi dan pasar," tegasnya.


Tetapi jika supply dan demand relatif telah seimbang, sistem dan mekanisme distribusi sudah tertata dengan baik, tetapi harga bahan pangan masih tinggi, maka patut diduga terjadi praktek kartelisasi yang dilakukan oleh sekelompok pengusaha.


"Dan biasanya selalu berkonspirasi dengan oknum pemerintah sebagai policy maker untuk mengontrol pasaokan bahan pangan ke pasar dan mengendalikan harga," terangnya.


Lalu bagaimana peran pemerintah dalam mengendalikan harga bahan pangan?


"Tidak kuasa dan tidak berdaya," jawab Viva.


Pasalnya, sistem liberalisasi perdagangan dan pasar bebas memposisikan kaum pemodal besar sebagai pemenang kompetisi bebas sehingga mampu mengontrol sirkulasi barang dan mengendalikan harga.


Salah satu penyebab pemerintah tidak mampu mengendalikan harga karena di samping tidak memiliki stok pangan karena Bulog yang ditugaskan sebagai lembaga buffer stock dari sisi status dan otoritas kelembagaan belum berfungsi maksimal, juga karena tidak jalannya program revitalisasi pertanian.


"Bulog yang ditugaskan menyerap gabah dan beras petani, melalui kebijakan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) tidak maksimal membeli dari petani karena sebagian petani lebih senang menjual gabah / beras ke tengkulak dengan harga lebih tinggi dari HPP, di samping Bulog kekurangan tenaga teknis di lapangan," paparnya.


Apa yang harus dilakukan pemerintah? Ia mengatakan perlunya membumikan dan segera merealisasikan reformasi sektor pertanian. Pemberian atau peminjaman lahan produktif kepada kelompok-kelompok tani diperlukan. Ini sebagai bagian dari reformasi agraria.


"Kemudian meningkatkan anggaran sektor pertanian sekitar 10% dari APBN untuk memperbaiki irigasi, waduk rusak, jalan tani, menciptakan benih jenis unggul, pupuk yang berkualitas dan ramah lingkungan, membuka sentra-sentra produksi peternakan sesuai kebijakan MP3EI, membuka food estate secara serius dan modern,dan pengadaan teknologi pertanian modern, serta program lainnya," paparnya lagi.


Menurutnya, nasib anak cucu saat ini ditentukan kebijakan hari ini. "Sangat ironis. Indonesia negara tropis, yang hidup di bawah garis khatulistiwa, masih impor pangan. Impor pangan itu merusak harga dan merugikan petani," tutup Viva.


(dru/dnl)