Duh.. Dari 8.000 Kios di Tanah Abang, Cuma 200 yang Bayar Pajak

Jakarta - Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak mencatat terdapat sekitar 8.000 kios di Blok A Pasar Tanah Abang, tetapi baru sekitar 3.000 pemilik kios yang terdaftar sebagai wajib pajak. Sayangnya, dari 3.000 WP tersebut, hanya sekitar 200 pemilik kios yang telah membayarkan pajaknya kepada negara.

Demikian disampaikan Kasi Hubungan Eksternal Ditjen Pajak Chandra Budi dalam siaran pers yang dikutip detikFinance, Selasa (16/7/2013).


"Untuk Blok A Pasar Tanah Abang, berdasarkan hasil Sensus Pajak Nasional (SPN) diketahui memiliki sekitar 8.000 kios. Dari 8.000 pemilik kios tersebut, ternyata baru sekitar 3.000 pemilik yang terdaftar sebagai Wajib Pajak. Nah, dari 3.000 pemilik yang telah terdaftar sebagai Wajib Pajak, baru sekitar 200-an lebih yang telah membayar pajak," ujarnya.


Chandra menambahkan rata-rata pembayaran pajaknya per-bulan per-WP dari kios yang sudah terdaftar tadi hanya Rp 500 ribu. Demikian juga untuk Blok B Pasar tanah abang, dari sekitar 3.821 kios yang ada, baru sekitar 151 pemilik kios yang sudah terdaftar menjadi Wajib Pajak dengan jumlah yang melakukan pembayaran pajak hanya sekitar 62 Wajib Pajak.


"Dari 62 Wajib Pajak tersebut, rata-rata pembayaran pajaknya hanya Rp 400 ribu/perbulan/Wajib Pajak," jelasnya.


Menurut Chandra, tentunya kondisi ini sangat berbeda dengan kenyataan atau kondisi aktivitas ekonomi di Pasar Tanah Abang. Pasalnya, diperkirakan rata-rata omzet pedagang pasar tanah abang Rp 10 juta perkios-perhari. Bahkan, pada kondisi saat ini yaitu menjelang puasa dan Lebaran, omzet tersebut dapat mencapai Rp25 juta perkios-perhari.


"Maka, dengan hitungan sederhana dan tarif paling rendah sekalipun, maka seharusnya pajak yang dibayarkan oleh pedagang pasar tanah abang lebih besar dari kondisi sekarang," paparnya.


Berdasarkan masukan dari berbagai pihak di Pasar Tanah Abang ini, lanjut Chandra, penyebab utama perilaku ketidakpatuhan dalam melaksanakan kewajiban perpajakan ini dikarenakan masyarakat atau Wajib Pajak mengalami kesulitan dalam memahami administrasi perpajakan.


Untuk itu, tambahnya, agar masyarakat dan Wajib Pajak mudah melaksanakan kewajiban perpajakannya, maka diciptakanlah penyederhanaan aturan perpajakan dalam bentuk Pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) Penghasilan dari Usaha dengan Peredaran Bruto (Omzet) Tertentu sebagaimana diatur dalam PP 46 Tahun 2013.


"Dengan PP 46 Tahun 2013 ini, selain masyarakat diberikan kemudahan dan kesederhanaan dalam melaksanakan kewajiban perpajakan, diharapkan masyarakat akan meningkat pengetahuan perpajakannya sehingga kepatuhan sukarela akan muncul," pungkasnya.


(nia/dru)