'Jangan Musuhi Singapura, Tapi Impor Minyaknya'

Jakarta -Singapura menjadi tumpuan Indonesia dalam importasi minyak hingga saat ini. Sebagian besar BBM yang dikonsumsi masyarakat Indonesia tiap harinya berasal dari Singapura.

Ketua BKKPII Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia (IATMI) Nanang Untung menuturkan, Singapura adalah negara terdekat dari Indonesia yang memiliki pasokan minyak dalam jumlah besar. Sehingga wajar dilakukan dari Singapura.


"Mau nggak mau, rela nggak rela, kita harus beli dari Singapura. Karena hub memang adanya di sana," ungkap Nanang di kantor pusat Pertamina, Jakarta, Kamis (13/2/2014)


Sementara itu dari posisi kawasan, Singapura juga yang paling dekat dengan Indonesia. Sehingga bisa dikatakan lebih efisien. Jika memang tidak dari Singapura, menurut Nanang minyak tersebut bisa diambil dari negara lain.


"Sebetulnya mau Singapura atau tidak Singapura, bukan masalah Singapurnya. Singapura itu pintunya saja. Karena Indonesia itu kan bisa impor dari tempat lainlah, kalau emang bisa," jelasnya.


Akan tetapi, Nanang menilai, ini bukanlah persoalan Singapura sebagai pemasok. Namun lebih kepada Indonesia sebaga importir. Itu yang harusnya menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah. Bagaimana ke depan tidak bergantung lagi dengan impor.


"Masalahnya kita tergantung dengan impor minyaknya. Fokusnya kan adalah ketergantungan dengan impor. Kalau tergantung dengan impor, pesannya ke depan itu tidak harus terjadi lagi," ujar Nanang.


Seperti diketahui, dari data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dikutip detikFinance, sepanjang 2013 lalu, Indonesia mengimpor hasil minyak atau BBM dengan total US$ 28,56 miliar atau sekitar Rp 285 triliun, berjumlah 29,6 juta ton. Dari jumlah itu, nilai impor BBM dari Singapura adalah US$ 15,145 miliar atau sekitar Rp 151 triliun. Jumlah BBM yang diimpor Indonesia dari Singapura mencapai 29,6 juta ton.


Selain Singapura, berikut negara-negara yang BBM-nya sering dibeli oleh Indonesia sepanjang 2013:



  • Malaysia, dengan niai US$ 6,4 miliar atau Rp 64 triliun. Jumlahnya 6,7 juta ton

  • Korea Selatan, dengan nilai US$ 2,53 miliar atau sekitar Rp 25 triliun. Jumlahnya 2,7 juta ton

  • Kuwait, dengan nilai US$ 906 juta atau sekitar Rp 9 triliun. Jumlahnya 1,07 juta ton

  • Arab Saudi, dengan nilai US$ 709 juta atau sekitar Rp 7 triliun. Jumlahnya 735 ribu ton

  • Qatar, dengan nilai US$ 538 juta atau sekitar Rp 5 triliun. Jumlahnya 562 ribu ton

  • Uni Emirat Arab, dengan nilai US$ 367 juta atau sekitar Rp 3 triliun. Jumlahnya 371 ribu ton

  • Taiwan, dengan nilai US$ 312 juta atau sekitar Rp 3 triliun. Jumlahnya 310 ribu ton

  • Rusia, dengan nilai US$ 261 juta atau sekitar Rp 2 triliun lebih. Jumlahnya 277 ribu ton

  • China, dengan nilai US$ 257 juta atau sekitar Rp 2 triliun lebih. Jumlahnya 245 ribu ton

  • Sisanya dari negara lain, dengan nilai US$ 1,05 miliar atau Rp 10 triliun lebih. Jumlahnya 1,01 juta ton


(mkl/dnl)

Berita ini juga dapat dibaca melalui m.detik.com dan aplikasi detikcom untuk BlackBerry, Android, iOS & Windows Phone. Install sekarang!