Dolar Rp 14.000 Saat Krismon Bikin Perusahaan Kolaps, Jangan Terulang Lagi

Jakarta -Bank Indonesia (BI) mendorong perusahaan-perusahaan swasta untuk menerapkan sistem hedging atau lindung nilai atas utang luar negerinya. Belajar dari pengalaman krisis moneter (krismon) 1997-1998, banyak perusahaan yang tumbang kala rupiah melemah tajam terhadap dolar Amerika Serikat (AS).

Ketika krismon, dolar AS menguat hingga mencapai Rp 14.000. Utang luar negeri swasta yang sudah tinggi semakin bertambah karena pelemahan rupiah. Akibatnya, tidak sedikit perusahaan yang bangkrut.


"Tahun 1997-1998, rupiah melemah hingga Rp 14.000/US$. Banyak perusahaan kolaps karena mereka banyak utang luar negeri tapi nggak di hedge," kata Deputi Task Force Financial Bank Indonesia (BII Nanang Hendarsyah dalam paparan media di gedung BI, Jakarta, Kamis (29/1/2015).


Lindung nilai yang dimaksud adalah kontrak yang mematok kurs rupiah terhadap mata uang negara lain dalam besaran dan waktu tertentu. Dengan begitu, perusahaan terhindar dari risiko fluktuasi nilai tukar. Ini mirip dengan biaya premi asuransi.


Saat ini, Nanang menyebutkan, utang luar negeri perusahaan swasta terus meningkat. Sementara porsi lindung nilainya masih minim, hanya 13%.


"Uang luar negeri swasta jauh lebih tinggi dari 2008. Hanya 13% utang luar negeri swasta yang di-hedge. Banyak risiko karena missmatch currencies," katanya.


Apalagi, tambah Nanang, bukan tidak mungkin ke depan nilai tukar rupiah kembali melemah. Penyebabnya adalah kenaikan suku bunga di AS, yang membuat mata uang Negeri Paman Sam akan menguat dibandingkan mata uang lainnya, termasuk rupiah.


"The Fed normalisasi, ada kenaikan suku bunga AS. Ini akan melemahkan rupiah," kata Nanang.


(drk/hds)

Redaksi: redaksi[at]detikfinance.com

Informasi pemasangan iklan

hubungi : sales[at]detik.com