Dolar AS 'Perkasa' Sampai Rp 13.000, Ekonom: Ada Kesalahan Mengelola Ekspektasi

Jakarta -Purbaya Yudhi Sadewa, Kepala Riset Danareksa Research Institute, menyebutkan sebenarnya pelemahan rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) kali ini agak terlalu dalam. Dia menilai seharusnya dolar AS tidak perlu menguat sampai lebih dari Rp 13.000.

"Padahal uang masuk banyak, tapi kenapa rupiah melemah? Menurut saya, ada kesalahan dalam mengelola ekspektasi," tutur Yudhi kala berbincang dengan detikFinance, Jumat (13/3/2015).


Yudhi menyebut, sepanjang Januari-Februari 2015 ada Rp 57 triliun dana yang masuk di pasar obligasi. Sementara di pasar saham, dana yang masuk mencapai Rp 10 triliun. Ini tentunya bisa menjadi 'amunisi' untuk membuat nilai tukar lebih stabil.


"Tapi ada kesalahan mengelola ekspektasi. Seakan-akan pemerintah dan bank sentral ingin rupiah melemah, dengan berbagai kebijakan dan pernyataan," sebutnya.


Misalnya adalah pemerintah maupun Bank Indonesia (BI) yang beberapa kali menyebutkan bahwa pelemahan rupiah positif untuk mendorong kinerja ekspor. Pelaku pasar menerjemahkannya sebagai nilai tukar rupiah memang dibiarkan melemah.


"Seakan-akan, secara tidak sengaja diartikan pasar sebagai sesuatu yang by design. Sepertinya ada kebingungan dalam mengelola ekspektasi," tegas Yudhi.


Namun, Yudhi menilai sekarang pemerintah dan BI sudah mulai berubah. Pelaku pasar sudah melihat sikap (stance) dari pemerintah maupun BI yang berkomitmen untuk 'menjaga' nilai tukar rupiah.


"Pemerintah dan bank sentral sudah terlihat warna aslinya, sudah jelas stance-nya mau ke mana. Mereka tidak suka juga rupiah terlalu melemah," kata Yudhi.


Hal ini, tambah Yudhi, ditunjukkan dengan rencana pemerintah untuk merilis paket kebijakan stabilisasi nilai tukar dan defisit transaksi berjalan (current account). BI pun sudah menegaskan siap untuk melakukan intervensi demi 'menjaga' rupiah.


(hds/ang)

Redaksi: redaksi[at]detikfinance.com

Informasi pemasangan iklan

hubungi : sales[at]detik.com