Mulai Tahun Depan, Mal dan Hotel Bintang 5 Tak Lagi Dapat Subsidi Listrik

Depok -Pemerintah menerapkan kenaikan tarif dasar listrik (TDL) tahun depan, untuk pelanggan-pelanggan listrik kelas atas. Mal dan hotel-hotel bintang 5 tak lagi dapat subsidi listrik tahun depan.

"Kelas di atas 1.100 watt dinaikkan dan TDL juga bakal dinaikkan. Industri juga dinaikkan. Masak mal disubsidi? Kan nggak benar. Kemudian hotel bintang lima yang tarifnya satu malam Rp 2 juta kok disubsidi? Nggak bisa dong. Ibaratnya subsidi ini terlalu lama dinikmati mau dinaikkan sedikit saja TDL sudah komplain. Subsidi lebih bagus untuk infrastruktur jalan dan transportasi," ungkap Wakil Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Susilo Siswoutomo saat mengunjungi Penyaluran dan Pusat Pengatur Beban Jawa Bali (PLN P3BJB) Gandul, Cinere, Depok, Jawa Barat, Senin (23/12/2013).


Susilo tidak menjelaskan secara detil mekanisme dan kapan subsidi listrik bakal dicabut tahun depan. Namun ia menyebut, bisa saja sistem pencabutan listrik dilakukan secara berkala setiap kuartal.


"Pokoknya subsidi listrik untuk I-3 perusahaan terbuka (tercatat di bursa) dan I-4 akan dicabut tahun depan ini sudah ditetapkan DPR. Sedangkan I-2 dan I-1 yang subsidinya masih 20% tetap dapat subsidi. Rencana pencabutan bisa saja bertahap. Biasanya 4 kali setiap 3 bulan," imbuhnya.


Berikut rincian pelanggan listrik industri:



  1. I-1 dengan listrik berdaya 450 VA sampai dengan 14 kVA untuk industri kecil/rumah tangga

  2. I-2 dengan listrik berdaya 14 kVA sampai dengan 200 kVA untuk industri sedang

  3. I-3 dengan listrik berdaya di atas 200 kVA untuk industri menengah

  4. I-4 dengan listrik berdaya 30 ribu kVA ke atas untuk industri besar


Untuk sektor rumah tangga dengan pengguna listrik sebesar 400-900 watt, pemerintah masih akan tetap memberikan subsidi. Ia pun punya alasan mengapa subsidi listrik untuk kedua golongan industri itu harus dihapuskan. Menurut Susilo, biaya memproduksi listrik setiap tahun terus mengalami kenaikan, apalagi masih adanya pembangkit listrik yang bersumber dari bahan bakar jenis solar. Hal ini diperparah dengan kondisi keuangan negara yang sedang sulit.

"Biaya pokok pengadaan listrik ini kombinasi antara pembangkit hidro (air) itu yang paling murah, batubara yang kedua itu murah hanya 5-7 sen/kwh lalu ada gas seikit lebih mahal karena volue dan risiko jauh lebih besar. Panas bumi juga mahal 9-12 sen/kwh. Semua digabung jadi satu dan yang paling mahal dari diesel yaitu PLTD. PLTD itu menghasilan 1400 Mw memerlukan 7 miliar liter solar lebih/tahun. Itu sudah Rp 63 triliun. Itu semua dijadikan satu dijumlahkan Rp 1.300/kwh sampai konsumen," tuturnya.


"Kemudian PLN harus pasang meteran dan biaya keseluruhan. Biaya pembangkitan, biaya koneksi, transmisi digabung menjadi satu jadinya Rp 1.320/kwh. Dijual ke rata-rata masyarakat hanya Rp 850/kwh sisanya Rp 500/kw disubsidi. Pemerintah sekarang ini melihat mana yang perlu disubsidi dan tidak. Pengguna 450-900 watt hanya bayar Rp 400/kwh sisanya oleh pemerintah. Rata-rata pemerintah masih mensubsidi Rp 500/kwh. Itu subsidinya besar sekali beban kita sangat berat. Harusnya tidak disubsidi," jelasnya.


(wij/dnl)

Berita ini juga dapat dibaca melalui m.detik.com dan aplikasi detikcom untuk BlackBerry, Android, iOS & Windows Phone. Install sekarang!