Gelar Pertemuan Tahunan, Industri Keuangan Syariah RI Bersiap Hadapi MEA 2015

Jakarta -Dewan Pengawas Syariah (DPS) akan menggelar Ijtima’ Sanawi atau pertemuan tahunan pada 16-18 Desember 2014. Acara ini merupakan agenda rutin Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI).

Pertemuan tahunan kali ini menghadirkan para DPS dari industri keuangan syariah dalam rangka mengkaji berbagai permasalahan-permasalahan yang ada dalam pengembangan industri keuangan syariah, mensosialisasikan regulasi, baik Direktorat Perbankan Syariah (DPbS) Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Industri Keuangan NonBank (IKNB) Syariah OJK, dan Pasar Modal Syariah OJK. Termasuk sosialisasi fatwa-fatwa baru yang digunakan untuk industri keuangan syariah. Serta membicarakan isu-isu kebijakan terkait pengembangan industri keuangan syariah di Indonesia.


Demikian dikutip dari siaran tertulis DSN MUI, Minggu (14/12/2014). Berbeda dengan Ijtima’ Sanawi sebelumnya, Ijtima’ Sanawi X ini mengusung tema 'Peran DPS dalam Menyongsong Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)'.


Salah satu isu yang terkait dengan persiapan menghadapi MEA ini adalah adanya pernyataan bahwa produk perbankan syariah tidak berkembang dan tidak inovatif. Ada tuntutan dari beberapa pihak agar DSN-MUI bisa lebih terbuka dan menerima produk-produk perbankan dari luar agar berkontribusi terhadap peningkatan kinerja perbankan syariah itu sendiri.


"Dalam konteks ini, DSN-MUI berpandangan bahwa dengan tanpa menutup kemungkinan untuk menerima produk-produk luar, apa yang seyogyanya dilakukan oleh praktisi adalah bagaimana melakukan kreativitas untuk melahirkan sendiri produk-produk keuangannya yang memang berbasiskan kebutuhan lokal atau domestik. Produk khas Indonesia yang mungkin penamaan atau istilah-ya baru di industri perbankan nasional bahkan global. Produk perbankan yang tidak senantiasa mengandalkan produk-produk standar atau sekadar 'membebek' (pasif) pada produk luar," jelas siaran itu.


Keharusan untuk berkreasi dan berinovasi untuk menciptakan produk khas Indonesia paling tidak dilatarbelakangi oleh dua faktor berikut:



  1. Jumlah penduduk muslim yang besar menjadi potensi nasabah industri keuangan syariah.

  2. Sumber daya alam yang melimpah yang dapat dijadikan sebagai underlying transaksi industri keuangan syariah.


"Bahkan tidaklah berlebihan dengan beberapa faktor tersebut sudah selayaknya Indonesia menjadi pelopor dan kiblat pengembangan keuangan syariah di dunia. Biarkanlah negara-negara Timur Tengah, Malaysia, Singapura berkembang dengan latar belakang sosio-ekonomi, sosio-grafis-nya masing-masing, sementara Indonesia menciptakan kekhasan produk perbankan syariah-nya sendiri. Di sinilah diperlukan praktisi perbankan syariah (human capital) yang berjiwa entrepreneur," papar siaran tersebut.Next (hds/hds)