David Sumual, Ekonom PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), menilai salah satu faktor yang menyebabkan rupiah berfluktuasi adalah tingginya impor, terutama Bahan Bakar Minyak (BBM). Penyebabnya adalah konsumsi BBM domestik yang tinggi akibat harganya yang murah karena disubsidi.
Namun mulai 1 Januari 2015, pemerintah resmi menghapus subsidi untuk BBM jenis Premium. Untuk BBM diesel atau Solar diberikan subsidi tetap (fixed subsidy) Rp 1.000/liter.
Langkah ini dinilai mampu meredam konsumsi BBM, sehingga impor BBM juga akan berkurang. Dengan demikian, David memperkirakan rupiah bisa menguat kembali.
"Rupiah akan ada di kisaran Rp 12.000-Rp 12.700/US$, fair value Rp 12.300-Rp 12.400/US$. Ini kalau banyak reformasi struktural yang dilaksanakan, risiko fiskal jadi lebih rendah, sehingga rating bisa di-upgrade," katanya kepada detikFinance, Minggu (4/1/2015).
Penghapusan subsidi Premium dan pemberian subsidi tetap untuk Solar, lanjut David, juga akan menyebabkan investor mempercayai bahwa pemerintah berkomitmen untuk mereformasi subsidi. Dia menilai arus modal masuk (capital inflow) bisa meningkat, dan mendukung penguatan rupiah.
"Kalau pemerintah bisa menggunakan atau membelanjakan anggarannya secara tepat untuk pembangunan infrastruktur, maka akan banyak investasi masuk dan rupiah akan menguat," kata dia.
Namun bila pemerintah masih sulit merealisasikan pembangunan infrastruktur, tambah David, kepercayaan investor bisa luntur. Akibatnya yang terjadi adalah arus modal keluar (capital outflow) sehingga rupiah bisa melemah.
"Kalau ternyata terhambat, rupiah bisa ke Rp 12.700-Rp 12.800/US$," tegasnya.
(drk/hds)
