Dua kebijakan itu adalah pembentukan perusahaan reasuransi domestik dan kewajiban penggunaan Letter of Credit (L/C) untuk ekspor produk-produk sumber daya alam.
"Soal reasuransi, inisiatifnya sudah mulai sejak saya menteri BUMN, tapi tertunda lama sejak 6-7 tahun lalu. Kemudian L/C, sudah saya sejak menteri BUMN," ungkap Sofyan di Kantor Presiden, Jakarta, Senin (16/3/2015).
Sofyan menyayangkan karena dalam kurun waktu tersebut tidak ada realisasi dari yang sudah diwacanakan. Padahal 2 kebijakan ini sangat bagus untuk memperkuat struktur ekonomi Indonesia.
"Jadi banyak sekali kebijakan yang tertunda. Padahal itu dibutuhkan untuk menciptakan ekonomi yang kompetitif," tuturnya.
Berikut adalah 6 kebijakan untuk memperkuat rupiah dan menekan defisit transaksi berjalan:
- Insentif pajak. Terdiri dari pengurangan Pajak Penghasilan (PPh) atau tax allowance bagi perusahaan yang menahan dividennya dan melakukan reinvestasi serta insentif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk industri galangan kapal.
- Kebijakan bea masuk untuk mengurangi impor dan melindungi industri dalam negeri. Terdiri dari Bea Masuk Anti Dumping Sementara (BMADS) dan Bea Masuk Tindak Pengamanan Sementara (BMTPS).
- Pembebasan visa bagi wisatawan asing dari 30 negara. Dengan begitu, Indonesia sudah membebaskan visa bagi turis dari 45 negara.
- Kewajiban pencampuran Bahan Bakar Nabati (BBN) sebanyak 15% untuk Solar.
- Kewajiban menggunakan L/C untuk ekspor produk-produk sumber daya alam seperti batu bara, migas, atau minyak sawit mentah (CPO). Namun, pemerintah memberi pengecualian bagi kontrak-kontrak jangka panjang.
- Pembentukan perusahaan reasuransi domestik.
(mkl/hds)
Redaksi: redaksi[at]detikfinance.com
Informasi pemasangan iklan
hubungi : sales[at]detik.com