"Secara pribadi nggak setuju," tegas Yuddy di Kantor Presiden, Jakarta, Senin (30/3/2015).
Menurut Yuddy, ada risiko yang nantinya bisa merugikan PNS itu sendiri. Terutama dalam penggunaan uang dengan jumlah yang sangat besar tersebut.
"Saya khawatir. Nanti bagaimana kalau setelah pensiun ketemu mojang (gadis), ya kan lagi punya uang bisa kawin lagi. Ada mobil baru beli, ada sawah baru beli. Kalau tidak bisa gunakan uangnya dan habis," jelasnya.
Biasanya, kata Yuddy pensiun diterima misalnya sebesar Rp 2 juta atau 3 juta per bulan. Namun diubah menjadi Rp 100 juta per bulan. Hal ini akan ikut mempengaruhi pola pikir dan perilaku dari PNS.
Sedangkan PNS tidak dibekali dengan keahlian untuk menjadi wirausaha. Maka, akan sangat sulit mengimplementasikannya di lapangan.
"Itu sebenarnya pemikiran yang bagus. Tapi salahnya PNS itu tidak disiapkan buat jadi entrepreneur. Kita tak memiliki pola pembinaan karir pegawai yang mengarahkan mereka menjadi entrepreneur," terang Yuddy.
"Saya secara pribadi khawatir. Bisa saja pemerintah memberikan pesangon di awal sekaligus. Tapi kalau penggunaannya tidak tepat kan kasian mereka. Kalau mereka sehat umurnya panjang, uangnya tiba-tiba habis hanya karena konsumtif. Bagaimana hidupnya?," ujarnya mempertanyakan.
Lebih jauh, Yuddy memperkirakan hal tersebut justru akan menambah daftar orang miskin di dalam negeri. Dalam setahun ada 125 ribu PNS pensiun.
"Sementara itu tingkat harapan hidup kan semakin meningkat dengan 67 tahun rata-rata. Jadi pensiun 58, berarti masih hidup 10 tahun lagi. kalau tidak bisa gunakan uangnya dan habis. Kan tingkat kemiskinan kita akan bertambah. Makanya pemerintah tidak memiliki wacana untuk mengganti uang pensiun dengan pesangon," tukasnya.
(mkl/rrd)
Redaksi: redaksi[at]detikfinance.com
Informasi pemasangan iklan
hubungi : sales[at]detik.com