Tak Hanya RI, Negara Berkembang Lain Kena Bully oleh Dolar

Jakarta -Penguatan dolar Amerika Serikat (AS) belakangan ini merupakan yang tercepat dalam 40 tahun terakhir. Buat pelancong dari AS, kondisi ini menguntungkan. Namun ini menyakitkan bagi negara-negara lain, dan perusahaan yang beroperasi secara internasional. Apalagi negara-negara berkembang yang masih bergantung kepada dolar.

"Negara berkembang (emerging market) paling terpukul karena penguatan dolar. Mereka terpukul dari berbagai arah," jelas Direktur Investasi dari BKD Wealth Advisors, Jeff Layman, seperti dilansir dari CNN, Jumat (3/4/2015).


Selain tertekannya nilai tukar, negara berkembang juga menghadapi masalah politik, ketakutan naiknya bunga acuan bank sentral AS yaitu The Fed, dan anjloknya harga komoditas.


Hasilnya, investor untuk sementara keluar dari pasar keuangan negara berkembang. Sepanjang Maret, dana asing di pasar saham dan obligasi negara berkembang hanya US$ 16 miliar saja, menurut Institute of International France. Padahal sejak 2010 lalu, dana investor asing di pasar saham dan obligasi negara berkembang mencapai US$ 22 miliar per bulan.


Mata uang negara berkembang memang tidak bisa menahan kecepatan penguatan dolar. Dalam 12 bulan terakhir, dolar menguat 8% dari mata uang di negara-negara berkembang.


Namun secara spesifik, dolar dalam setahun terakhir menguat 61% terhadap rubel Rusia, 43% terhadap real Brasil, dan 19% terhadap lira Turki.


Masalah makin berat bagi negara berkembang dan perusahaan yang memiliki utang dalam dolar. Mereka makin berat membayar utang-utangnya.Next


(dnl/rrd)

Redaksi: redaksi[at]detikfinance.com

Informasi pemasangan iklan

hubungi : sales[at]detik.com