Tapi satu perbedaan antara Kapten Asep dan pendahulunya, Rudy Setyopurnomo. Asep adalah muka lama di Merpati. Pada era kepemimpinan Direktur Utama Sardjono Jhonny Tjitrokusumo (2010-2012), Kapten Asep adalah Direktur Operasi.
Kapten Asep pun mengawali karirnya di dunia penerbangan sebagai penerbang di Merpati. Berawal dari posisi pilot, Asep lalu masuk ke jajaran manajemen dengan duduk sebagai Managing Director di Strategic Business Unit Merpati Training Center (MTC) dan Pembina Komite Performance Management System (PMS).
Pada 13 Februari 2013 Kapten Asep sempat mengundurkan diri di tengah munculnya relasi yang tak enak antara karyawan dan manajemen. Tapi pada akhir Juli lalu, Menteri Badan Usaha Milik Negara Dahlan Iskan memanggilnya pulang.
Alih-alih santai, Asep bak duduk di kursi panas. Setumpuk tugas berat sudah menunggu. Ibarat penerbangan, pesawat yang dipiloti Kapten Asep sedang terbang di tengah turbulensi. Dahlan bilang, penyelamatan Merpati seperti menunggu belas kasihan malaikat.
Kalangan Dewan Perwakilan Daerah menilai, tugas Asep memang amat berat. “Masalah Merpati berlapis-lapis. Kalau dalam dua tahun kondisi Merpati bisa membaik, itu sudah syukur,” kata Hendrawan Supratikno, Anggota Komisi VI DPR.
Penunjukan Asep, kata Hendrawan, dianggap bisa mengatasi masalah ketidakkompakan direksi, seperti era sebelumnya. Tapi Merpati memiliki banyak masalah yang lain. “Revitalisasi bisnis, kinerja yang terus menurun, utang yang mencapai lebih dari Rp 6 triliun, kultur perusahaan yang lesu, ini masalah yang harus dihadapi oleh Capt Asep dan timnya.
Tak heran, meski sudah ada bos baru, kalangan DPR masih pesimistis terhadap masa depan Merpati. “Kondisi Merpati sangat ironis, di tengah bisnis penerbangan yang terus tumbuh dan industri pariwisata yang dinamis, Merpati justru tertatih-tatih,” ujarnya.
Setidaknya ada empat opsi penyelamatan Merpati. Pertama, scaling down yakni Merpati menyempitkan bisnisnya dengan fokus ke rute-rute perintis. Kedua, menggandeng investor swasta. Ketiga, menyatukan Merpati dengan maskapai yang lebih besar. Keempat, Merpati ditutup.
Tapi pengamat penerbangan, Alvin Lie, mengatakan masalah utama Merpati adalah soal manajemen. Menurutnya banyak karyawan Merpati yang digaji besar tapi tak produktif lagi. Ini membuat beban biaya perusahaan tetap tinggi.
Oleh karena itu, jalan singkat untuk mengurangi beban Merpati adalah dengan efisiensi karyawan. “Perlu ada penyehatan manajemen dengan kembali mengurangi tenaga kerja. Namun, langkah ini tidak mudah dan cenderung berdampak politis,” kata Alvin, yang pernah menjabat sebagai anggota Kaukus Penerbangan DPR.
Berkaca pada pengalaman PT Dirgantara Indonesia yang mengurangi kayawan secara besar-besaran, Alvin berpendapat Merpati harus siap menanggung risiko jika langkah ini dilakukan. “Sampai sekarang masalah ketenagakerjaan di PT DI masih berlarut-larut, meski sudah lebih dari 10 tahun. Jadi Merpati juga harus siapkan stamina lebih kalau sampai kembali mengurangi tenaga kerjanya,” tutur dia.
Hatta Rajasa, Menteri Koordinator bidang Perekonomian, mengatakan langkah penyelamatan Merpati yang akan ditempuh nantinya diharapkan manjur. “Merpati tidak sekali dua kali melakukan restrukturisasi, tapi hidup mati-hidup mati terus. Jadi nanti jangan sampai hidup enggan mati tak mau," katanya pada pekan lalu.
(DES/DES)
