Risiko tersebut adalah potensi kehilangan penerimaan pajak. Sebab, salah satu kebijakan untuk memperkuat rupiah adalah pemberian insentif pajak.
"Sejak dulu yang namanya insentif pasti ada penurunan atau potensi kehilangan penerimaan," ungkap Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Askolani di Gedung Djuanda, komplek Kemenkeu, Jakarta, Selasa (17/3/2015).
Namun Askolani belum bisa memastikan besaran kehilangan setoran pajak tersebut. Saat ini, potensi kehilangan penerimaan negara sedang dalam kajian Ditjen Pajak dan Badan Kebijakan Fiskal.
Oleh karena itu, lanjut Askolani, pemerintah akan melakukan pengawasan yang lebih ketat terhadap pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara-Perubahan (APBN-P) 2015.
"Kondisi begini, kami akan review bulanan pelaksanaan APBN. Kita hitung semua," tuturnya.
Tahun ini, pemerintah menargetkan penerimaan pajak hampir Rp 1.300 triliun, atau naik 44% dibandingkan 2014. Meski begitu, insentif pajak merupakan pilihan dan harusnya tidak bisa jadi alasan ketika setoran pajak tidak mencapai target.
"Kalau pajak shortfall, apa yang mau dikendalikan? Misalnya belanja. Mekanisme itu sudah jalan," tegas Askolani.
Dalam paket kebijakan yang diumumkan, insentif pajak yang akan diberikan adalah tax allowance bagi perusahaan yang menahan dividennya dan melakukan reinvestasi serta insentif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk industri galangan kapal.
Peyaluran dividen, terutama ke luar negeri, menyebabkan tekanan terhadap rupiah. Sementara insentif PPN untuk galangan kapal diberikan agar industri perkapalan dalam negeri bisa bersaing dengan asing. Ketergantungan Indonesia terhadap industri kapal asing juga menjadi salah satu penyebab tekanan terhadap rupiah.
(mkl/hds)
Redaksi: redaksi[at]detikfinance.com
Informasi pemasangan iklan
hubungi : sales[at]detik.com