Demi Paras Abaikan Bahaya

Jakarta - Akhir Agustus 2012. Sebuah berita tragis mengejutkan sebagian masyarakat Seoul, Korea Selatan. Seorang mahasiswi berusia 23 tahun, membunuh dirinya sendiri gara-gara operasi plastik yang membuat wajahnya berantakan.

Pada surat yang ditinggalkannya, si mahasiswi mengatakan dirinya terpaksa bunuh diri lantaran tersiksa pasca operasi plastik. Operasi di rahangnya telah membuat dirinya sulit mengunyah makanan dan tak bisa berhenti menangis akibat ada syaraf yang terpotong di pembuluh air matanya.


Sayangnya berita itu tak sampai ke telinga Hailey Kim, 17 tahun, warga keturunan Korea Selatan yang tinggal di California, Amerika Serikat. Gadis ini mulai keranjingan operasi plastik dan sedang mengimpikan operasi pembentukan dagu..


“Saya menginginkan wajah yang lebih langsing, wajah oval,” kata Kim, pemilik wajah bundar itu.


The Economist menggolongkan Korea Selatan sebagai negeri yang rakyatnya paling keranjingan akan perbaikan kecantikan di dunia. Angka operasi plastik tak terkontrol dan obsesi rakyatnya akan operasi plastik makin hari makin tinggi.


Alih-alih mengendalikan, pemerintah Korea Selatan justru 'mengeksploitasi' kegandrungan itu. Baru-baru ini pemerintah menyodorkan revisi perundang-undangan untuk menetapkan pemungutan pajak pertambahan nilai sebesar 10 persen untuk berbagai macam operasi plastik.


Padahal, ada persoalan lain di balik obsesi operasi plastik itu. Kebanyakan perempuan Korea punya selera yang nyaris serupa, yaitu: kulit yang terang, hidung yang kecil tapi mancung, mata yang lebih lebar dan tidak sipit, dan wajah mungil dengan bentuk V, tidak membulat. Nah, prosedur terakhir ini termasuk yang kontroversial.


Prosedur operasi plastik 'penipisan' dagu dilakukan supaya orang Korea memiliki wajah yang mungil oval dan berbentuk V. Operasi ini adalah jenis make-over wajah yang radikal dan berbahaya karena berhubungan dengan perubahan struktur tulang di wajah.


Tak jarang pelakunya tak bisa mengunyah secara normal. Belum lagi risiko komplikasi dan kelumpuhan.


“Operasi jenis ini sangat kompleks dan membahayakan, saya sangat terganggu melihat orang rela kehilangan kemampuan rahang yang baik hanya demi memiliki wajah yang mungil dan cantik,” kata Choi Jin-Young, seorang guru besar gigi dan rahang di Universitas Nasional Seoul.


Merebaknya tren ini dipicu kesaksian sejumlah pesohor negeri itu, yang menyatakan bahwa perubahan radikal pada bentuk mukanya telah menjadi titik balik dalam hidup dan karir mereka.


Tak ada data yang pasti berapa banyak operasi berbahaya ini sudah digelar di Korea Selatan. Sebuah studi anyar menyebutkan angka 5.000 prosedur per tahun. Parahnya, sebanyak 52 persen pasien operasi ini mengeluhkan masalah kehilangan fungsi indra perasa di kulit wajah.


Angka komplain meningkat dari 29 kasus pada 2010 menjadi 89 kasus pada tahun berikutnya. Dikhawatirkan angkanya lebih besar dari itu karena tak semua korban melapor.


“Mulut saya selalu bergerak condong ke kiri dan area dagu ini mati rasa,” kata seorang korban di forum online, sambil memperlihatkan foto mulutnya. “Saya bahkan tak bisa mengendalikan ludah yang menetes dari mulut.”


(DES/DES)