Membidik Cukai dari Bibir dan Bulu

Jakarta - Hailey Kim tak pernah merasa nyaman saban memandang wajahnya di cermin. Dia merasa dirinya tak cantik. Wajahnya terlalu bundar, bibirnya terlalu tebal, dan bentuk hidungnya kurang bagus.

Tapi pada ulang tahunnya yang ke-17 baru-baru ini, orang tua Kim telah memberikan hadiah yang membikin dia senang bukan main. Hadiah itu adalah biaya untuk melakukan operasi plastik. Maka terjadilah, bibir dan hidung Kim kini sudah berubah. Dia sudah merasa lebih cantik.


Kenapa Kim mau operasi plastik? “Karena mama, bibi, dan sepupu saya juga melakukannya,” kata gadis kelahiran California, Amerika Serikat ini, pada pekan lalu. “Semuanya di Korea,” ujarnya lagi. Kim berencana menabung uang untuk mempermak wajahnya lebih lanjut.


Meski tinggal di California, Amerika Serikat, Kim ikut menjadi 'korban' kegandrungan orang Korea Selatan akan operasi plastik untuk memermak muka. Di Korea, setidaknya satu dari lima perempuan pernah melakukan minimal satu macam prosedur itu.


Tak heran bila obsesi ini dimanfaatkan oleh pemerintah Korea Selatan untuk menambah pundi-pundi pendapatan negara lewat pungutan pajak. Baru-baru ini pemerintah negeri ginseng merampungkan draft revisi undang-undang tentang pajak pertambahan nilai untuk operasi plastik.


Dalam revisi itu, mulai 2014 pemerintah Korea Selatan akan menarik pajak pertambahan nilai 10 persen dari ongkos operasi bibir, penipisan dagu, dan pembersihan bulu tubuh. Sebelumnya sudah ada lima macam operasi plastik yang dikenai pajak pertambahan nilai, yaitu operasi di hidung, pengangkatan lemak, operasi wajah, payudara, dan kelopak mata.


Kementerian Keuangan Korea Selatan mengatakan, penetapan pajak untuk bedah kecantikan dilakukan demi mengikuti standar global. Kebanyakan negara maju didapati sudah mengutip pajak pada berbagai jenis pengobatan yang bertujuan untuk kecantikan.


Draft revisi itu akan diajukan ke parlemen Korea Selatan pada September mendatang. Jika disetujui, pemerintah potensial meraup tambahan pemasukan ke kas negara sebesar US$ 2,2 miliar (2,49 triliun Won) pada kurun waktu 2014 sampai 2018.


Penambahan pajak ini adalah bagian upaya Presiden dari rencana memenuhi program kesejahteraan, pertahanan, dan kebudayaan senilai 135 triliun Won pada 2017. “Kondisi fiskal kami sedang menghadapi tantangan,” kata Menteri Keuangan Korea Selatan, Hyun Oh Seok, pada pekan lalu.


Tapi apakah rencana ini bisa menjawab kebutuhan pemerintah? Ahn Chang Nam dari Universitas Kangnam meragukannya. Angka kebutuhan program itu, kata dia, terlalu besar.


Untuk diketahui, selain menarik pajak dari prosedur operasi plastik, dalam beleid yang sama pemerintah Korea Selatan juga akan menarik pajak dari agamawan seperti biksu dan pendeta. Selama ini penghasilan mereka bebas pajak.


Tapi kaum biksu meragukan efektifitas penarikan pajak itu. “Kami sepakat bahwa demi keadilan biksu juga harus membayar pajak, tapi bagaimana menegakkannya?” kata Nam Jeon, seorang biksu dari Ordo Buddha Jogye, yang berbasis di Seoul. “Biksu bergerak di sekitar kuil setiap bulan dan tak ada infrastruktur yang untuk melacak kami satu per satu.”


Memang, yang paling menjanjikan beleid itu adalah soal pajak dari operasi plastik itu. Soalnya, ada sekitar 1.908 klinik operasi plastik di seluruh Korea Selatan, menurut Korea Doctors dan Asosiasi Rumah Sakit Korea.


Menurut Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan, industri operasi plastik meraih profit sebesar 23,1 juta Won saban bulan pada 2010 dan tahun ini diperkirakan angkanya lebih besar dari itu, karena angka profit itu hanya dari 600 rumah sakit dengan lebih dari 100 tempat tidur. Itu tak termasuk rumah sakit yang lebih kecil dan klinik pribadi yang juga bisa menyelenggarakan operasi plastik.


Kalaupun ditarik pajak, Che Jun dari BK Plastic Surgery di Seoul bilang, konsumen takkan mempermasalahkannya. “Seperti merokok saja,” kata Jun. “Perokok tak berhenti merokok meski harganya dinaikkan.”


(DES/DES)