Angka ini jauh lebih rendah dari perkiraan perhitungan awal pengalihan Inalum dari Jepang ke Indonesia yaitu US$ 558 juta.
"Saya hanya menjawab singkat saja soal Inalum, kesepakatan harga sudah tercapai secara resmi kemarin. Tetapi yang lain-lain akan diumumkan nanti hanya termination agreement saja yang diupayakan di Indonesia pada tanggal 9 atau 10 Desember. Angkanya US$ 556,7 juta. Sudah disepakati kedua belah pihak nggak kurang dan nggak lebih," tegas Menteri Perindustrian MS Hidayat saat ditemui di kantornya, Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Kamis (28/11/2013).
Hidayat belum bisa berkata banyak kapan Inalum benar-benar menjadi milik Indonesia. Namun, ia mentargetkan penandatangan kesepakatan akhir dapat dilakukan sebelum tanggal 12 Desember 2013.
"Nanti keterangan resmi akan dilakukan setelah kami secara resmi merapatkan itu dalam tim yang sudah lengkap. Saya tanggal 10 karena memberi kesempatan pada kedua belah pihak untuk konsolidasi internal karena masing-masing punya tim antara Jepang dan Indonesia. Kalau bisa sebelum tanggal 12 Desember 2013," cetusnya.
Inalum adalah usaha patungan pemerintah Indonesia dengan Jepang. Proyek ini didukung aset dan infrastruktur dasar, seperti pembangkit listrik tenaga air dan pabrik peleburan aluminium berkapasitas 230-240 ribu ton per tahun.
Pemerintah Indonesia memiliki 41,13% saham Inalum, sedangkan Jepang memiliki 58,87% saham yang dikelola konsorsium Nippon Asahan Aluminium (NAA). Konsorsium NAA beranggotakan Japan Bank for International Cooperation (JBIC) yang mewakili pemerintah Jepang 50% dan sisanya oleh 12 perusahaan swasta Jepang.
Berdasarkan perjanjian RI-Jepang pada 7 Juli 1975, kontrak kerjasama pengelolaan Inalum berakhir 31 Oktober 2013.
(wij/dnl)
Berita ini juga dapat dibaca melalui m.detik.com dan aplikasi detikcom untuk BlackBerry, Android, iOS & Windows Phone. Install sekarang!