Agus Marto Bikin Suku Bunga Kredit Perbankan Melambung Tinggi

Jakarta - Bank Indonesia (BI) di bawah kepemimpinan Agus Martowardojo lagi-lagi membuat kejutan. Dalam dua bulan berturut-turun, Mantan Menteri Keuangan ini mengubah suku bunga acuan (BI Rate) hingga 75 bps dari 5,75% menjadi 6,5%. Apa yang akan terjadi?

Kenaikan BI Rate yang dimaksudkan untuk mempertahankan nilai tukar rupiah dan menyikapi lonjakan inflasi akibat kenaikan harga BBM tentu akan memiliki dampak begitu besar dan panjang bagi perekonomian nasional.


"Khususnya berkaitan dengan investasi dan kegiatan di sektor riil. Harus dipahami dalam ekonomi ada yang disebut dengan asimetris, termasuk dalam hal turun naiknya suku bunga acuan," kata Ekonom yang juga Anggota Komisi XI Arif Budimanta dalam keterangannya kepada detikFinance, Jumat (12/7/2013).


"Jika BI menaikan BI Rate maka seketika perbankan akan segera menaikan suku bunga kreditnya. Hal ini akan terjadi, BI di bawah kepemimpinan Agus Marto memberikan segudang peluru bagi industri perbankan untuk menaikkan bunganya," ungkap Dia.


Tetapi apabila kondisi telah stabil, lanjut Arif dan BI menurunkan kembali suku bunganya maka perbankan tidak akan langsung menurunkan suku bunga kreditnya. Menurutnya, ini tidak fair dan harus dibenahi.


"Ada proses wait and see yang cukup panjang sehingga akan merugikan perekonomian nasional khususnya sektor riil," tegas Arif.


Lebih jauh dijelaskan Arif, secara teori ekonomi jika BI Rate naik dapat mendorong capital inflow sehingga diharapkan akan menguatkan nilai tukar rupiah. Tetapi dalam kondisi yang tidak menentu atau mengarah pada suasana krisis ekonomi, pasar dapat mengartikan naiknya BI Rate sebagai meningkatnya resiko sehingga hasilnya akan kontra produktif dengan tujuan menstabilkan nilai tukar.


"Apabila alasannya untuk mengurangi dampak lonjakan inflasi akibat kenaikan harga BBM pemerintah dapat mengatasinya dengan serangkaian kebijakan fiskal seperti menaikan pajak pada barang-barang non-tradable dan sebagainya," paparnya.


"Jika menengok kembali kebijakan moneter ini untuk merespon kenaikan harga BBM maka betapa besarnya ongkos yang dikeluarkan demi 'menghemat' subsidi energi tersebut, yang pada akhirnya mungkin jauh lebih besar dari pada jumlah subsidi yang dihemat," tutup Arif.


(dru/dnl)