Supaya impor gula bisa memenuhi kebutuhan dan tidak disalahgunakan, maka mekanisme impor gula diatur oleh pemerintah. Salah satunya melalui Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia No. 527/MPP/Kep/9/2004 tentang Ketentuan Impor Gula yang ditandatangani oleh Rini Soemarno, sebagai Menteri Perdustrian dan Perdagangan saat itu.
Impor gula harus dikontrol ketat, supaya neraca gula produksi dalam negeri dan impor harus seimbang dan memenuhi kebutuhan gula rumah tangga (gula kristal putih) dan kebutuhan gula industri mamin (gula rafinasi). Jika tidak seimbang karena penyalahgunaan, maka muncul masalah besar di lapangan seperti sekarang ini.
Gula rafinasi berlimpah dan merembes ke pasar memakan pasar gula kristal putih konsumsi produk petani dan pabrik gula lokal. Dampaknya produksi kristal gula putih nasional terganggu. Harga jatuh dan produk menumpuk di gudang.
Di sisi lain, untuk membeli gula putih petani dan pabrik gula, para pedagang besar yang dikenal sebagai 7 Samurai, memerlukan dana yang tidak sedikit. Begitu pula dengan pabrik gula nasional. Dana besar itu mereka pinjam dari perbankan untuk membeli puluhan ribu ton gula putih saat lelang di pabrik-pabrik gula.
Ketika supply dan demand seimbang, keuntungan kelompok ini sangat dasyat, tetapi saat ini harga gula putih jatuh, mereka rugi besar dan dana pinjaman bank terancam macet, seperti yang terjadi saat ini.
Pabrik gula kristal putih menghadapi banyak kendala, antara lain harga pokok produksi (HPP) gula kristal putih lokal selalu lebih mahal daripada harga gula kristal putih impor dari Thailand atau Vietnam. Hal ini terjadi karena rendahnya rendemen gula Indonesia (hanya sekitar 6%) dibanding dengan rendemen pabrik gula di Vietnam atau Thailand sekitar 13%. Next
(dnl/dnl)
Berita ini juga dapat dibaca melalui m.detik.com dan aplikasi detikcom untuk BlackBerry, Android, iOS & Windows Phone. Install sekarang!