Pelayanan Bea Cukai Sangat Buruk, Perlu Perombakan Total

Jakarta - Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (Ditjen Bea Cukai/DJBC) dinilai memberikan pelayanan yang sangat buruk. Keberadaan Direktorat di bawah Kementerian Keuangan (Kemenkeu) ini justru menambah tekanan inflasi, inefisiensi ekonomi hingga melemahkan daya saing dan merusak dunia usaha.

Demikian disampaikan oleh Ekonom Dradjad Wibowo dalam tulisannya tentang Bea dan Cukai seperti disampaikan kepada detikFinance melalui surat elektroniknya, Senin (8/7/2013).


"Sungguh ironis. Di satu sisi, pemerintah berjibaku menahan inflasi. BI bahkan diharuskan mati-matian menahan Rupiah di luar batas kemampuannya. Pemerintah juga selalu menekan dunia usaha agar mengurangi biaya tinggi dan menaikkan daya saing. Dunia usaha disentil agar tidak cengeng menghadapi persaingan global, termasuk pasar bebas ASEAN," ungkap Dradjad.


"Namun ternyata, Ditjen Bea dan Cukai sebagai salah satu instansi kunci pemerintah justru menghambat semua hal di atas," imbuh Wakil Ketua Umum PAN ini.


Dradjad menyampaikan hasil investigasi yang telah dilakukannya sendiri. Menurut Dradjad pelayanan DJBC sangat lah buruk.


"Salah satu indikator utama pelayanan kepabeanan dan cukai dalam lalu lintas barang adalah dwell time (DT). Yaitu, total waktu yang diperlukan sejak kontainer keluar dari kapal yang datang hingga keluar dari pintu area pelabuhan," ungkapnya.


Pemerintah di bawah koordinasi Menko Perekonomian, sambung Dradjad menargetkan menurunkan DT dari 6,04 hari menjadi 4 hari. Sebagai perbandingan, DT di Port Klang (Malaysia) hanya 4 hari, di Australia dan New Zealand 3 hari, Hongkong 2 hari, Singapura 1,1 hari.


"Realitasnya, di Kantor Pelayanan Utama (KPU) BC Tanjung Priok, DT untuk Jalur Merah (JM) memakan waktu paling cepat 11,5 hari. Bahkan tidak jarang prosesnya mencapai 21 hari," katanya.


Contoh sederhananya, untuk proses 'permohonan petugas pemeriksa' yang semestinya selesai paling lama 4 jam, saat ini bisa memakan waktu 1-2 hari penuh. Penarikan kontainer ke lokasi behandel yang harusnya bisa selesai paling lama 20-24 jam, sekarang memakan waktu 1-5 hari.


"Khusus untuk Jalur Merah, saya melihat setidaknya ada 6 (enam) titik proses di mana DJBC seharusnya bisa mempercepat pelayanan. Ini dimulai dari persiapan dokumen, pendokumenan oleh aparat BC, hingga pemeriksaan fisik, respon PFPD (Pejabat Fungsional Pemeriksa Dokumen), sampai proses akhir Notul (Nota Pembetulan) dan terbitnya SPPB (Surat Persetujuan Pengeluaran Barang)," paparnya.


"Saya tidak menginginkan kita kembali mengamputasi DJBC seperti jaman Orba dulu dan mengontrak lembaga asing. Namun sudah saatnya pemerintah merombak total DJBC mulai dari jajaran paling bawah hingga ke Dirjen-nya," imbuh Dradjad.


Faktanya, DJBC saat ini menurut Dradjad sudah sangat buruk dan lambat pelayanannya. Ini menjadi salah satu bottle neck bagi lalu lintas barang, serta menyebabkan ekonomi biaya tinggi, inflasi, pelemahan daya saing dan kerusakan dunia usaha.


"Jargon MP3EI adalah tidak doing business as usual. Bukannya mengikuti jargon tersebut, DJBC malah way worse than usual. Saatnya pemerintah mengambil tindakan nyata, bukan lagi rapat-rapat," tutup Dradjad.


(dru/dnl)