Besar Pasak, Utang pun Memuncak

Jakarta - Seperti pepatah, besar pasak daripada tiang. Begitulah pengamat menggambarkan postur anggaran yang dicanangkan pemerintah dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2014. Pengeluaran masih lebih besar ketimbang penerimaan.

Seperti dijabarkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada akhir pekan lalu, penerimaan ditargetkan Rp 1.662,5 triliun. Tapi belanja dipatok Rp 1.816,7 triliun. Artinya ada defisit sebesar Rp 154,2 triliun atau 1,49 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).


Untuk menutupi defisit ini, pemerintah berencana menarik utang sebesar Rp 164,7 triliun. Dari dalam negeri, utang akan datang dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) netto sebesar Rp 182,7 triliun dan pinjaman dalam negeri netto Rp 964 miliar.


Sementara pinjaman luar negeri justru minus Rp 18,9 triliun. Pemerintah berasumsi akan lebih banyak membayar dibandingkan menarik utang baru.


Pemerintah menyatakan tingkat defisit anggaran dan utang Indonesia masih terkelola dengan baik karena masih lebih rendah dibandingkan target defisit 2013. “Penurunan defisit anggaran ini penting kita lakukan untuk mewujudkan anggaran yang lebih sehat dan berimbang di masa yang akan datang,” kata Presiden, di gedung DPR, Jakarta.


Defisit dan utang, lanjut Yudhoyono, merupakan upaya untuk memberikan ruang ekspansi demi mendorong pertumbuhan ekonomi. Lagipula, rasio utang terhadap PDB di Indonesia relatif rendah. Presiden menjanjikan penurunan rasio utang pemerintah terhadap PDB menjadi 22-23 persen pada akhir 2014.


“Angka ini jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan pemerintah negara-negara berkembang lainnya, yang mencapai 33 persen terhadap PDB. Sebagai kepala pemerintahan yang insya Allah akan mengakhiri tugas di akhir Oktober tahun depan, saya tidak ingin memberikan beban kepada presiden pengganti saya beserta pemerintahan yang dipimpinnya,” papar Yudhoyono.


Namun, kalangan DPR menilai utang pemerintah sudah terlalu besar. Per Juli 2013, total utang pemerintah mencapai Rp 2.036,1 triliun. Dengan anggaran yang masih menganut sistem defisit, maka jumlah utang dipastikan akan bertambah.


Sadar Subagyo, Anggota Komisi XI DPR, mengatakan salah satu langkah untuk mengurangi defisit dan utang adalah mengefisienkan belanja negara. Berbagai pengeluaran yang tidak penting bisa ditunda, bahkan dihapus.


“Namun kami belum melihat pemerintah sungguh-sungguh mengurangi belanja, masih banyak celah. Seperti belanja barang naik terus, padahal ini hanya kan supporting fuction. Belanja barang tidak naik birokrasi bisa terus berjalan,” tutur Sadar.


Belanja barang yang direncanakan dalam RAPBN 2014 adalah Rp 203,7 triliun. Sadar memperkirakan belanja barang masih bisa dihemat sekitar Rp 20-30 triliun.


Fary Djemi Francis, Anggota Badan Anggaran DPR, mengatakan pemerintah sebaiknya mulai hati-hati dengan kebijakan utang. Jika tidak, maka bisa jadi Indonesia akan terjebak dalam krisis fiskal seperti di beberapa negara Eropa.


“Utang pemerintah sudah menembus Rp 2.000 triliun, kalau tidak hati-hati bisa menyebabkan krisis. Walau rasio terhadap PDB-nya turun, tetapi belum menjamin adanya stabilitas pembangunan,” kata Fary.


Di sisi lain, penyerapan anggaran negara pun diperkirakan masih seret karena polanya tak berubah. Ahmad Erani Yustika, Direktur Eksekutif Indef, memperkirakan pemerintah akan sulit mencapai target belanja sebesar Rp 1.816,7 triliun. Hambatan utamanya adalah Pemilihan Umum.


“Tahun depan mulai April sampai Oktober, politik begitu kencang. Ini membuat pemerintah akan sulit berfokus untuk melaksanakan APBN, terutama di kementerian yang dipimpin oleh menteri dari partai politik,” kata Erani.


Selain itu, tambah Erani, pola penyerapan anggaran diperkirakan belum berubah yaitu baru dikerjakan menjelang akhir tahun. Menurutnya sulit mencapai pemerataan penyerapan anggaran tiap kuartal karena terganjal pembebasan lahan, perizinan proyek, proses birokrasi, dan sebagainya.


Dengan kondisi penyerapan anggaran yang tidak optimal, Erani memperkirakan pertumbuhan ekonomi 2014 sulit untuk mencapai target 6,4 persen. “Menurut saya, target yang realistis sekitar 6,2-6,3 persen,” tutur guru besar ekonomi Universitas Brawijaya, Malang, ini.


(DES/DES)