Dolar Dekati Rp 11.000 Sudah Lampu Merah, Pemerintah Tak Boleh Santai

Jakarta - Saat ini dolar AS terus menekan hingga mendekati Rp 11.000. Kondisi ini sudah lampu merah, karena akan banyak masalah yang mendera pemerintah dan swasta. Apa yang harus dilakukan oleh pemerintah?

Pernyataan Menteri Keuangan Chatib Basri yang mengatakan tidak khawatir akan situasi ini dikritik oleh Pengamat Pasar Uang Farial Anwar. Menurut Farial, pemerintah tidak bisa berdiam menghadapi kondisi yang terjadi saat ini


"Kondisi ini sudah lampu merah, jangan dianggap santai. Pemerintah dan BI jangan santai-santai, karena ini merupakan titik kritis. Kalau dolar sampai Rp 11.000 maka akan mengacaukan ekonomi kita," tutur Farial kepada detikFinance, Selasa (20/8/2013).


Menurut Farial, dolar yang nyaris mencapai Rp 11.000 ini sudah jauh dari asumsi dasar perhitungan APBN-P 2013 yang memperhitungan dolar AS berada di level Rp 9.600. Bila asumsi nilai tukar ini meleset jauh seperti sekarang, maka defisit anggaran bakal membengkak. Tak hanya itu, pembayaran utang pemerintah yang bervaluta asing bakal bengkak, demikian juga dengan anggaran impor minyak yang akan bengkak.


"Impor minyak akan membengkak nilainya karena dolar tinggi. Untk dunia usaha atau swasta, kondisi rupiah akan membuat masalah karena tidak ada kepastian," ujar Farial.


Bagi dunia usaha, pembayaran utang-utang mereka akan jadi lebih mahal. Utang swasta bermata uang dolar, kata Farial, cukup besar jumlahnya saat ini.


Lantas, apa yang harus dilakukan oleh pemerintah dan juga Bank Indonesia (BI)?


Farial mengatakan, persoalan fundamental Indonesia saat ini adalah rezim devisa bebas yang diberlakukan. Rezim ini membuat uang panas dari asing bebas keluar masuk. Kondisi ini yang seringkali membuat indeks harga saham gabungan (IHSG) dan juga nilai tukar rupiah mudah bergejolak.


"Masalah fundamental kita adalah rezim devisa bebas yang diterapkan. Kalau rezim ini tidak diubah, maka kondisi IHSG dan rupiah akan terus seperti ini. Harusnya uang asing yang masuk harus dibatasi waktunya, sehingga tidak semaunya keluar dan masuk. Kemudian para eksportir juga harus menyimpan uangnya di dalam negeri," papar Farial.


Kalau sekarang, apra eksportir lebih senang menyimpang uang di bank luar negeri, seperti di Singapura, Hong Kong, ataupun di China.


"Jadi bank-bank di Singapura itu menikmati uang eksportir kita. Jadi negara kita itu sekarang dicengkram asing yang mudah masuk dan mengeluarkan uangnya. Negara kita itu surga untuk uang panas," kata Farial.


(dnl/dnl)