"Karena harganya lebih murah dari harga internasional, makanya banyak yang diselundupkan. Mirip seperti BBM waktu masih disubsidi. Harganya lebih murah ketimbang harga keekonomiannya makanya mereka selundupkan supaya dapat harga yang lebih bagus," ujar Ketua Forest Watch Indonesia Togu Manurung dalam diskusi di Lot 8 SCBD, Jakarta, Selasa (17/2/2015).
Ia mencontohkan, untuk produk balok kayu dan serpih kayu yang berasal dari kayu sengon saja harga jual di Indonesia hanya sekitar US$ 125-150 per meter kubik atau setara Rp 1,5-1,8 juta per meter kubik.
Padahal harga yang berlaku di pasar Internasional sudah 2 kali lipat. "Harga kayu Indonesia sangat murah. Ini akibat pemberlakuan larangan ekpor kayu bulat (gelondongan) Indonesia. Harga Indonesia sekitar US$ 125-150 per meter kubik. Internasional bisa 2 kali lipat, bisa US$ 300 per meter kubik," paparnya.
Togu mengatakan ada kelompok usaha di dalam negeri yang saling terhubung untuk menentukan harga sehingga menyebabkan harga yang terbentuk tidak berdasarkan harga pasar melainkan sesuai kepentingan kelompok usaha tersebut atau biasa disebut praktik kartel harga.
"Saat ini perusahaan-perusahaan pemegang Konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) hanya dikuasai oleh 2 grup besar. Mereka adalah pabrik pulp dan kertas yang banyak mengkonsumsi kayu. Mereka bisa setting price (atur harga) tetap rendah supaya kebutuhan mereka bisa tetap terpenuhi dengan harga murah," ujarnya.
Ia menyebutkan ada dua grup usaha besar di Indonesia terkait kartel. "Pemegang konsesi HTI itu memang terdiri dari banyak pihak perusahaan-perusahaan kecil namun semuanya sudah terafiliasi dengan dua grup usaha ini. Malah mereka sudah mulai mengakuisisi perusahaan-perusahaan lain yang juga memegang HTI," ujarnya.
Kondisi ini memberi dampak berantai dan merugikan negara. Diantaranya adalah harga kayu yang tetap rendah dan sulit bersaing hingga rendahnya realisasi HTI di Tanah Air. Ia mencatat. Dalam lima tahun terakhir, dari 10 juta hektar lahan cadangan, hanya 3,7 juta hektare HTI yang berhasil dibangun.
"Karena harganya rendah, pihak lain nggak ada lagi yang mau masuk menjadi ikut menanam di HTI. Jadinya realisasi HTI pun nggak pernah mencapai target," katanya.
(dna/hen)
Redaksi: redaksi[at]detikfinance.com
Informasi pemasangan iklan
hubungi : sales[at]detik.com