Setahun RI Produksi 360 Miliar Batang Rokok, 94% Jenis Kretek

Jakarta -Pengusaha rokok putih yang tergabung dalam Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) mengeluhkan pangsa pasar rokok putih di dalam negeri yang semakin mengecil dari ratusan miliar batang. Pangsa pasar rokok putih di Indoensia hanya 6%, selebihnya 94% merupakan pangsa pasar rokok kretek.

‎Ketua Umum Gaprindo Muhaimin Moeftie menuturkan, produsen rokok putih pernah mencapai masa jayanya di era 1980-an. Saat itu, hampir separuh perokok di Indonesia adalah konsumen rokok putih, atau rokok tanpa cengkeh.


"Tahun 1980-an itu pangsa pasar rokok putih masih 40%-an. Tapi karena tren pasar, sampai sekarang lima tahun terkahir itu jadi 6%," kata Moeftie usai menemui Menteri Perindustrian (Menperin) Saleh Husin di kantornya, Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Jumat (20/2/2015).


Moeftie mengatakan, produksi rokok sepanjang 2014 mencapai 360 miliar batang, hanya 6% dari angka tersebut adalah rokok putih dan 94% rokok kretek. Konsumen rokok di Indonesia kini mulai beralih ke rokok kretek atau yang mengandung cengkeh.


Kretek adalah rokok yang terbuat dari campuran tembakau dan cengkeh. Kata "kretek" sendiri berasal dari bunyi gemeretak cengkeh yang timbul ketika rokok dibakar.


"94% sekarang pangsa pasarnya rokok cengkeh,"‎ tambahnya.


Ia mengharapkan agar pemerintah memberikan kemudahan untuk ekspor‎ rokok putih karena pasar dalam negeri sudah terlalu kecil. ‎Salah satunya untuk memberikan kemudahan ekspor adalah pengurangan cukai rokok.


Sebelum 2003, insentif sejenis itu pernah diberikan pemerintah, namun sejak 2003 pemerintah tak lagi memberikan kemudahan tersebut. Saat ini, para pengusaha rokok putih meminta aturan itu kembali diterapkan. untuk tujuan ekspor.


"Kami mohon ada lagi. Karena (pangsa pasar) kami kecil‎ di sini, kami coba ekspansi ke luar. Kami biasa ekspor ke Vietnam, Laos, Kamboja dan negara Asia Pasifik," katanya.


Moeftie menjelaskan para pengusaha rokok putih meminta pengurangan cukai sebesar 1%-2% dari‎ cukai produksi dalam negeri. "Ketentuannya jumlah yang diekspor harus lebih besar dari dalam negeri. Misalnya penjualan dalam negeri itu 1 miliar batang, maka ekspornya harus lebih dari itu, baru dapat insentif," tutupnya.


(zul/hen)

Redaksi: redaksi[at]detikfinance.com

Informasi pemasangan iklan

hubungi : sales[at]detik.com