Kasus ini bisa membuat produk perikanan Indonesia diboikot negara lain seperti Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa. Kondisi ini bakal mirip yang terjadi pada industri sawit yang terkena kampanye negatif di Eropa.
"Apabia tidak segera diselesaikan, bisnis seafood kita sangat terancam. Sea Food kita pernah diboikot AS. Kapal-kapalnya kapal eks asing, hitam putih sudah berbendera Indonesia atas nama PT PBR," tegas Susi di Gedung Mina Bahari III, Jalan Medan Merdeka Timur, Jakarta, Senin (30/03/2015).
Bila tidak segera diselesaikan, kasus ini bisa mengganggu ekspor ikan Indonesia. Bisa saja nasib ekspor ikan Indonesia sama seperti ekspor sawit yang banyak dihadang oleh negara-negara Uni Eropa terkait isu lingkungan.
"Perikanan juga sama, produk Indonesia tidak laku lagi di dunia. Kelapa sawit sudah terancam diboikot karena alasan gajah mati dan kebakaran hutan. Seafood juga sama, AS sudah bicara. Tanpa kita menangani ini dengan benar kita tidak comply lagi soal traceability," katanya.
Bahkan bisa jadi angka ekspor produk perikanan Indonesia sebesar US$ 4,6 miliar tidak lagi didapat. AS dan negara-negara Uni Eropa yang menjadi pasar ikan utama Indonesia akan menolak bila kasus perbudakan ini tidak diselesaikan.
"Angka US$ 4,6 miliar ini tidak bisa keluar kalau buyer memboikot, bila kita tidak bereaksi pada berita AP, produk seafood kita akan habis karena AS dan Uni Eropa bisa boikot. Kita harus commit not away allowing slavery di wilayah laut Indonesia dan kita akan tindak semua praktik perbudakan," tegas Susi.
(wij/hen)
Redaksi: redaksi[at]detikfinance.com
Informasi pemasangan iklan
hubungi : sales[at]detik.com