Katanya Semakin Belanja Semakin Kaya

Jakarta - Statement yang cukup mengagetkan ini dikeluarkan oleh Menteri Keuangan Chatib Basri beberapa waktu lalu yang artikelnya juga bisa anda baca di detikFinance. Beberapa teman dan follower di akun twitter saya @AidilAKBAR bereaksi dan bertanya tentang hal dan maksud dari statemen ini kepada saya.

Sebenarnya salah sih tanya ke saya, harusnya tanya ke yang buat pernyataan ya. Well, apabila kita simak dari kutipannya pernyataanya sih, yang dimaksud oleh beliau bahwa untuk tetap bisa menggerakan roda perekonomian di Indonesia maka sangat dianjurkan kepada masyarakat Indonesia untuk tetap belanja, belanja dan belanja.


Dan tidak bisa dipungkiri bahwa suka tidak suka serta mau tidak mau kemajuan dan pertumbuhan ekonomi kita pasca krisis moneter 1997-1998 memang salah satu yang utamanya ditopang oleh konsumsi publik alias belanja, belanja, dan belanja.


Tidak heran kalau kemudian masyarakat kita dijuluki masyarakat yang konsumtif. Pertanyaan sebenarnya, mau sampai kapan ya ekonomi kita ditunjang oleh masyarakat konsumtif? Karena ekonomi seperti akan berbahaya kalau sampai masyarakat tidak mempunyai daya beli lagi, maka tidak ada yang akan belanja.


Permasalahannya adalah apakah pernyataan Pak Menteri tersebut benar? Sampai batasan tertentu saya cukup setuju dengan pernyataan Pak Menteri. Akan tetapi kalau tidak baik-baik dicerna, bisa misleading dan membahayakan, khususnya bagi mereka yang “gila belanja” alias shopaholic.


Dengan masyarakat yang terus berbelanja dan membeli produk kita, maka ekonomi berputar. Permasalahannya adalah yang dibeli apakah produk hasil produksi dalam negeri alias anak bangsa atau produk impor?


Kalau produk yang dibeli memang produk buatan Indonesia apalagi produk yang dibuat dari hasil usaha padat karya maka secara otomatis akan menggerakan roda perekonomian karena akan menyerap tenaga kerja dari pabrik-pabrik yang memproduksi produk tersebut, atau bahkan dari UKM-UKM nya.


Sementara itu apabila produknya hasil import, maka yang diuntungkan hanya segelintir orang saja yaitu importir dan karyawan mereka yang sudah barang tentu jumlah banyaknya akan berbeda dibandingkan produksi padat karya.


Permasalahan berikutnya akan timbul apabila gaya hidup konsumtif alias belanja, belanja, dan belanja tadi tidak ditunjang dengan daya beli yang kuat dari masyarakat, akan tetapi belanja dengan menggunakan utang, utang, dan utang.


Padahal dalam Perencanaan Keuangan utang hanya diperbolehkan selama itu produktif, bisa meningkatkan nilai aset, bisa mendapatkan income atau bisa meningkatkan produktifitas. Sementara utang untuk belanja alias utang konsumtif justru harus dihindari bahkan dihapuskan.


Jangan sampai kejadian di Singapura dan Hong Kong terulang di Indonesia, di mana anak muda dan masyarakat kelas menengahnya terjerat utang konsumtif karena gaya hidup mereka yang gemar belanja untuk menunjukan status sosial.


Jadi kembali ke pertanyaannya, apakah benar Hemat Pangkal Kaya atau justru Belanja Pangkal Kaya? Dan, sebenarnya akhirnya siapa sih yang menjadi kaya?


(ang/ang)