Perumahan Mewah Tak Wajib Bangun Hunian Kelas Bawah Pada Satu Lokasi

Jakarta - Menteri Perumahan Rakyat (Menpera) Djan Faridz memastikan tidak ada pengembang properti yang keberatan atas aturan kawasan hunian berimbang rasio 1:2:3 (1 rumah mewah, 2 rumah kelas menengah, 3 rumah murah).

Hal ini diatur dalam Peraturan Menteri Perumahan Rakyat No. 10/2012 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman dengan Hunian Berimbang.


Ia menuturkan, pengembang ikut serta dalam pembuatan regulasi sehingga tidak layak untuk protes terhadap aturan tersebut. "UU itu kan dibikin sama-sama mereka, mereka yang ikut bikin juga," ujar Djan saat ditemui di Gedung Nusantara II DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (28/2/2013).


Ia mengatakan sudah ada beberapa kemudahan yang ditawarkan kepada para pengembang seperti pembangunan perumahan yang tidak harus di satu lokasi asalkan masih di satu kabupaten. Walaupun kalangan Real Estate Indonesia (REI) mengusulkan penerapannya bisa diperluas menjadi provinsi atau bahkan se Indonesia.


"Tidak harus dilokasi yang sama, asal di satu kabupaten," tegas Djan.


Hingga sekarang, Djan tidak mencatat ada laporan pengembang yang keberatan atas aturan ini. "Nggak ada yang keberatan semua mau, toh 20% nggak harus dibangun di rumah mewah itu bisa di tempat lain. Sepeti Agung Podomoro itu kan di Kalibata nggak ada masalah," katanya.


Sebelumnya Ketua DPP REI, Setyo Maharso, mengatakan konsep hunian berimbang dengan menghadirkan rumah untuk seluruh lapisan masyarakat di satu kawasan sulit terwujud. Terlebih kebijakan harga tanah melalui NJOP, ditetapkan oleh pemerintah daerah.


"Pemkot NJOP-nya beda-beda. Kemudian dalam satu kawasan, NJOP misalnya Rp 5 juta, Rp 3 juta, dan Rp 450 ribu (per m2), nggak bisa. Nanti ini berpengaruh kepada PBB. Nanti (kelas bawah) nggak mampu bayar pajak. Pada akhirnya, mereka (MBR) pindah lagi dan hunian berimbang tidak terlaksana," ucap Setyo.


(hen/hen)