Ditjen Pajak Sulit Kejar Penghindar Pajak Transaksi Properti Perorangan

Jakarta - Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) mengakui hingga kini masih sulit mengejar penghindaran bahkan penggelapan pajak properti yang terjadi dalam jual-beli properti perorangan. Ditjen pajak kini masih fokus memeriksa dan mengejar potensi penghindaran pajak properti terhadap perusahaan pengembang.

"Kalau transaksi individu memang sulit. Sekarang kita yang nyata dulu (pengembang properti), nanti ke depannya bisa juga (transaksi individu)," kata Kepala Seksi Hubungan Eksternal Ditjen Pajak Chandra Budi kepada detikFinance, Selasa (13/8/2013)


Menurut Chandra, pihaknya mengharapkan peranan dari notaris di berbagai wilayah agar mematuhi ketentuan pajak properti sesuai transaksi yang riil. Ia menyadari di masyarakat masih banyak pemahaman, bahwa pembayaran pajak properti dihitung dari nilai jual objek pajak (NJOP) bukan dari transaksi riilnya.


"Para notaris peran seharusnya ada, notaris harus berperan karena Kepanjangantanganan dari Pemerintah mereka harus sadar," katanya.


Bahkan Chandra mengatakan, bila dalam pemeriksaan dokumen para pengembang properti terjadi penyimpangan yang dilakukan oleh notaris maka pihaknya tak segan-segan melapor kepada Kementerian Hukum dan Ham untuk ditindaklanjuti agar ada sanksi kepada notaris yang melanggar.


"Kalau ada pelanggaran di notaris kita memberi informasi ke Kemenkumham," katanya.


Seperti diketahui berdasarkan penelitian awal Ditjen Pajak, ada potential loss penerimaan pajak akibat tidak dilaporkan transaksi sebenarnya jual-beli tanah/bangunan termasuk properti, real estate dan apartemen. Hal ini terjadi karena pajak yang dibayarkan menggunakan transaksi berbasis Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) bukan berbasis transaksi sebenarnya atau riil.


Padahal kenyataanya pada periode 2011-2012 terjadi booming properti, namun penerimaan negara dari pajak properti tak mengalami peningkatan. Berdasarkan uji silang data Real Etate Indonesia (REI) ada potensi pajak penghasilan (PPh) dari properti sekitar Rp 30 triliun, angka tersebut belum termasuk PPN. Namun kenyataanya selama ini setoran pajak properti sekitar Rp 9 triliun


potensi penerimaan pajak dari sektor properti berasal dari Pajak Penghasilan (PPh) Final Pasal 4 ayat 2 yaitu penghasilan yang diterima penjual (developer, pengembang), karena melakukan transaksi jual beli tanah/bangunan sebesar 5% dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas transaksi barang kena pajak berupa tanah/bangunan yang bukan kategori rumah sangat sederhana sebesar 10%.


Sedangkan pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dalam transaksi properti adalah Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sebesar 5%.


(hen/dnl)