Gelap Gulita di Kota Naga

Jakarta - Zhang Weixin, seorang supir taksi di Changzhou tak pernah mengira bahwa kota tempatnya lahir dan besar akan bernasib sama dengan belasan kota hantu lain di China.

Changzhou adalah kota kuno yang berdiri sejak 2.500 tahun lalu. Didirikan di delta Sungai Yangtze, Changzhou dijuluki Kota Naga, untuk harapan akan kesehatan dan kesejahteraan di sana. Tapi kini banyak media memasukkannya ke dalam daftar kota hantu setelah berdirinya kawasan bisnis di Jalan Wuyi yang sepi.


Jalan Wuyi yang bak hutan beton karena punya banyak gedung pencakar langit minim pencahayaan pada malam hari. Banyak gedung yang kosong membuat banyak pula lampu yang tak dinyalakan pada malam hari.


Wang, seorang penduduk di Apartemen Injoy Plaza, di Jalan Wuyi, mengatakan duapertiga dari kapasitas apartemen yang dihuninya kosong. Cara menghitungnya, kata dia, gampang saja. Yaitu dengan melihat seberapa banyak pendingin udara yang dipasang di sana. Changzhou memang termasuk kawasan terpanas di China.


Seorang pegawai di supermarket tak jauh dari apartemen Injoy bilang, bisnis berjalan kurang bagus di kawasan itu. “Sedikit sekali pembelinya,” kata pegawai yang tak mau disebut namanya itu, berkeluh kesah.


Padahal kawasan Wuyi dibangun dengan ambisi menjadikan Changzhou sebagai salah satu kota metropolis di China. Zhang Weixin, sang supir taksi itu, sampai-sampai bingung mana yang terbesar dan mana yang terbaru di jalan Wuyi, lantaran banyaknya bangunan tinggi di sana.


Media massa, terutama media dari luar China, akhirnya memasukkan Changzhou sebagai salah satu dari sekitar 12 kota hantu yang bermunculan, seperti dirilis Harian Pemuda China pada Juli lalu. Di dalam daftar itu termasuk pula kota-kota terkenal. Misalnya, Kota Ordos di kawasan otonomi Mongolia di China Utara, kawasan baru Zhengdong di Provinsi Henan, Shiyan di Hubei, dan Distrik Kunming di Chenggong, Yunan.


Mengapa sedikit sekali orang yang tinggal di sana? Li Zhanjun dari Institut Riset dan Pembangunan di E-house China mengatakan sebetulnya fenomena itu wajar dalam proses pembangunan.


“Tapi pemerintah lokal mesti belajar atas apa yang terjadi di Ordos, bahwa kota yang berkembang dengan sehat harus membangun rantai industri yang baik dan struktur industri yang seimbang,” kata Zhanjun. Menurut dia, kalau strateginya hanya membangun bangunan untuk menarik pendatang, maka risiko terhadap pertumbuhan ekonomi pun jadi besar.


Ordos adalah 'kota hantu' yang paling banyak dibicarakan saat ini. Dulu Ordos termasuk kota terkaya di daratan China, sehingga sempat dijuluki Dubainya China. Tapi perekonomiannya lambat laun ambruk.


Pendapatan Ordos melesat lewat industri batubara selama satu dekade. Dari industri batubara, duit kemudian mengalir ke sektor real estate. Begitu sebaliknya, sehingga membentuk lingkaran setan. Begitu industri batubara ambruk lantaran demand yang turun, sektor real estate terkena dampaknya.


Untuk kasus Changzhou, Liu Yuan, seorang manager senior di agen properti Centaline Property di China, bilang bahwa harga adalah indikator kunci terjadinya bubble properti. Dia menyarankan, kota baru jangan memasang harga terlalu tinggi.


Pemerintah Changzhou sendiri tak mau kotanya disebut 'Kota Hantu”. "Kebanyakan properti di Jalan Wuyi sedang dalam tahap finishing atau sedang direnovasi, tak tepat menghakimi kawasan yang sedang dalam masa transisi,” kata Wakil Direktur Biro Administrasi Perumahan Changzhou.


Populasi Changzhou memang mencapai 4,5 juta orang pada 2012, naik 20 persen dibanding 10 tahun lalu. Tapi, diduga pertambahan itu didominasi buruh konstruksi yang daya belinya tak besar.


Sedangkan kaum menengah ke atas, konon lebih tertarik menetap di Suzhou dan Nanjing, tak jauh dari Changzhou. Alasannya, tak banyak sekolah, institusi, dan perusahaan besar di Changzhou. Serba salah memang.


(DES/DES)