Ini Penyebab RI Krisis di 2008, Miripkah Dengan Kondisi Sekarang?

Jakarta - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) sedang mengalami masa-masa suram. Situasi ekonomi di dalam negeri pun terguncang.

Apakah situasi ini mirip dengan ekonomi pada waktu krisis 2008? Akankah krisis ekonomi lima tahun lalu terulang kembali? Mari kita bandingkan dulu seperti apa situasi saat krisis 2008 dan saat ini.


Dikutip dari Publikasi Bank Indonesia (BI) dalam Laporan Perekonomian 2008, Rabu (28/8/2013), imbas krisis mulai terasa di dalam negeri terutama menjelang akhir 2008. Setelah mencatat pertumbuhan ekonomi di atas 6% sampai dengan triwulan III-2008, perekonomian Indonesia mulai mendapat tekanan berat pada triwulan IV-2008.


Hal itu tercermin pada perlambatan ekonomi secara signifikan terutama karena anjloknya kinerja ekspor. Di sisi eksternal, neraca pembayaran Indonesia mengalami peningkatan defisit dan nilai tukar rupiah mengalami pelemahan signifikan.


Di pasar keuangan, selisih risiko (risk spread) dari surat-surat berharga Indonesia mengalami peningkatan yang cukup signifikan yang mendorong arus modal keluar dari investasi asing di bursa saham, Surat Utang Negara (SUN), dan Sertifikat Bank Indonesia (SBI).


Secara relatif, posisi Indonesia sendiri secara umum bukanlah yang terburuk di antara negara-negara lain. Perekonomian Indonesia masih dapat tumbuh sebesar 6,1% pada 2008.


Berikut ini indikasi krisis di Indonesia ditunjukkan oleh berbagai indikator yaitu:



  • Pasar SUN mengalami tekanan hebat tercermin dari penurunan harga SUN atau kenaikan yield SUN secara tajam yakni dari rata-rata sekitar 10% sebelum krisis menjadi 17,1% pada tanggal 20 November 2008; (catatan: setiap 1% kenaikan yield SUN akan menambah beban biaya bunga SUN sebesar Rp 1,4 Triliun di APBN).

  • Credit Default Swap (CDS) Indonesia mengalami peningkatan secara tajam yakni dari sekitar 250 bps awal tahun 2008 menjadi di atas 980 bps pada bulan November 2008. Hal ini menunjukkan bahwa pasar menilai country risk Indonesia yang tinggi pada saat itu.

  • Terdapat gangguan likuiditas di pasar karena peningkatan liquidity premium akibat pelebaran bid-ask spread dalam perdagangan di pasar saham, yang pada akhirnya mengakibatkan terjadi capital flight.

  • Cadangan Devisa mengalami penurunan 13% dari US$ 59,45 miliar per Juni 2008 menjadi 51.64 miliar per Desember 2008 yang mengindikasikan terjadi capital flight.

  • Rupiah terdepresiasi 30,9% dari Rp 9.840 per Januari 2008 menjadi Rp 12.100 per November 2008 dengan volatilitas yang tinggi.

  • Terdapat potensi terjadi capital flight (arus dana keluar) yang lebih besar lagi dari para deposan bank karena tidak adanya sistem penjaminan penuh (full guarantee) di Indonesia seperti yang sudah diterapkan di Australia, Singapura, Malaysia, Thailand, Hong Kong, Taiwan dan Korea.


Gambaran dan fakta-fakta tersebut di atas, sejak pertengahan tahun 2008, ketegangan dan kecemasan terjadi di mana-mana, investor besar di pasar modal seperti Dana Pensiun, Asuransi, dan Reksa Dana termasuk masyarakat biasa.

Psikologis pasar saat itu menusuk dan menekan karena nilai investasi terkuras tajam hampir rata-rata 40 %. Lebih dahsyat lagi, pinjaman antar bank telah berhenti sama sekali dan dapat dikatakan likuiditas di pasar perbankan tidak ada sama sekali.


Keadaan ini mendorong pemerintah melakukan penyesuaian kebijakan secara cepat dan tepat waktu dengan melakukan perubahan-perubahan penilaian aktiva. Masih dalam ingatan kita semua bahwa hampir semua industri dan para pengamat termasuk perseorangan baik dalam negeri maupun luar negeri menyambut respons Pemerintah tersebut.


Hal tersebut sangat berlainan dengan respons pasar saat ini. Kebijakan pemerintah yang diumumkan pekan lalu disambut negatif oleh banyak kalangan. Dolar masih perkasa, sementara IHSG terus-terusan anjlok.


Beberapa ciri krisis 2008 yang juga terjadi saat ini, yaitu anjloknya rupiah dan IHSG serta dana asing sudah banyak 'kabur' ke luar negeri sejak awal bulan Agustus ini.


(ang/dnl)