Kisah Indonesia, Negara Favorit Investasi yang Kini Dianggap Rapuh

Jakarta -Tahun lalu, Indonesia masuk sebagai salah satu negara favorit investasi dunia, karena pertumbuhannya yang tembus 6%. Namun kini Indonesia masuk sebagai negara rentan dan berisiko.

Menteri Keuangan Chatib Basri menyebut, ada 5 negara rentan berisiko yang dijuluki 'The Fragile Five'. Selain Indonesia, negara yang masuk kategori rentan ini adalah India, Turki, Afrika Selatan, dan Brasil.


Kenapa ada istilah 'The Fragile Five' ini? Sejumlah media asing menyatakan, lima negara yang masuk kategori tersebut bakal terguncang bila bank sentral AS yaitu Federal Reserve (The Fed) mengurangi program stimulusnya, atau istilahnya tappering off.


Pasca krisis keuangan global 2008, The Fed melakukan stimulus pembelian surat utang yang nilainya mencapai triliunan rupiah per bulan, namun dalam bentuk dolar AS. Sampai saat ini, sudah ada sekitar US$ 4 triliun atau Rp 40.000 triliun uang yang beredar di dunia dari program stimulus tersebut.


Rencananya, dalam waktu dekat, The Fed akan mengurangi stimulusnya karena ekonomi AS dinilai sudah membaik. Bila ini dilakukan, maka pasokan dolar ke dunia akan mengering. Nah, 5 negara ini dinilai terancam bakal terguncang, karena kekurangan pasokan dolar.


"Indonesia sebagai sebuah negara yang awal tahun lalu menjadi darling dari investor global, tiba-tiba di dalam bulan Juli dan Agustus itu, dikategorikan sebagai negara yang The Fragile Five. Ada India, Indonesia, Turki, Afrika Selatan, dan Brasil," ucap Menteri Keuangan Chatib Basri pada acara Kompas 100 CEO Forum di JCC Senayan Jakarta, Rabu (27/9/2013).


Kenapa Indonesia dan negara lainnya rentan? Karena neraca perdagangannya defisit akibat impor yang sangat tinggi. Kondisi ini membuat investor asing menarik dananya dari kelima negara ini.


"Selama 4 tahun kita hidup di dunia yang dibantu oleh quantitative easing (stimulus The Fed). Sebenernya kita bicara dengan dunia yang normal adalah dunia tanpa quantitative easing. Sebagian uang yang mengalir juga masuk ke komoditas, setelah itu dia mengalami penurunan. Karena 60% energy dan commodity related yang menyebankan revenue exports penurunan," jelasnya.


Di tempat yang sama, Menko Perekonomian Hatta Rajasa menjelaskan, penilaian terhadap kondisi investasi di Indonesia bisa dilakukan oleh siapa saja. Menurutnya prioritas pemerintah adalah berusaha keras memperkecil defisit transaksi berjalan.


"Memang kita harus hati-hati mencermati. Jangan biarkan defisit transaksi berjalan. Orang melihat kerentanan karena melihat defisit transaksi berjalan. Ini nggak bisa diselesaikan dari sisi moneter tapi riil juga. Diperlukan struktur industri," sebutnya.


(feb/dnl)

Berita ini juga dapat dibaca melalui m.detik.com dan aplikasi detikcom untuk BlackBerry, Android, iOS & Windows Phone. Install sekarang!