Anggota Komisi XI Achsanul Qosasi menuturkan, uang NKRI bukan hanya sekedar produk baru. Tapi lebih dari itu, uang NKRI memiliki filosofi yang dalam.
"Sebenarnya begini, ini kan bukan cuma uang desain baru, tapi di dalamnya ada filosofi," ujarnya kepada detikFinance, Rabu (13/8/2014)
Achsanul menjelaskan, saat satu orang memegang uang Rp 100.000 di negara ini, maka pemerintah memiliki utang terhadap orang tersebut. Artinya pemerintah harus menyediakan barang atau jasa untuk bisa ditukarkan uang tersebut.
"Dalam teorinya, pemerintah selaku penyelenggaran negara itu utang. Utang untuk menyiapkan barang dibelanjakan," sebutnya.
Jadi ada sisi fiskal dalam uang tersebut. Akan bertolak belakang bila hanya ada tanda tangan Gubernur Bank Indonesia (BI) pada uang kertas seperti yang selama ini terjadi.
"Kalau hanya (tanda tangan) Gubernur BI, kan itu berarti uang BI. Seolah BI yang memenuhi kepentingan fiskal di Indonesia. Padahal itu harusnya dari pemerintah," kata Achsanul yang sebelumnya merupakan Ketua Panitia Khusus (Pansus) UU Mata Uang.
Maka dari itu, pemerintah, BI, dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sepakat untuk menamakan uang NKRI. Karena dalam uang terdapat unsur fiskal dan moneter.
"Banyak juga perdebatan yang terjadi saat itu. Tapi setelah diambil garis lurusnya maka uang itu nantinya atas nama NKRI," tukasnya.
(mkl/dnl)
Berita ini juga dapat dibaca melalui m.detik.com dan aplikasi detikcom untuk BlackBerry, Android, iOS & Windows Phone. Install sekarang!
