Agus Martowardojo, Gubernur Bank Indonesia, menyatakan krisis 2008 juga menandai babak baru perekonomian global. Sejak kejadian pada 2008, siklus krisis terjadi lebih cepat dari sebelumnya.
"Perkembangan krisis dunia datang semakin cepat. Dulu setiap 20 tahun, 10 tahun, sekarang setiap 2 tahun krisis datang. Ini sejak 2008 krisis AS kemudian disambung Eropa," kata Agus di Gedung BI, Jakarta, Senin (27/10/2014).
Agus menjelaskan, ekonomi AS yang belum pulih benar pasca krisis 2008 juga mempengaruhi Indonesia. Salah satunya adalah harga komoditas turun, yang membuat negara pengekspor batu bara atau minyak sawit seperti Indonesia kena dampaknya.
Ekspor Indonesia tidak mampu tumbuh positif dalam beberapa tahun terakhir, sehingga neraca perdagangan cenderung defisit. Ini kemudian menyebabkan transaksi berjalan (current account) pun ikut defisit.
"Kelemahan di negara berkembang adalah risiko twin deficit, transaksi berjalan dan external debt. Sekarang ini, utang korporasi lebih tinggi dari pemerintah. Begitu besar utang korporasi dan mereka banyak yang nggak melakukan hedging (lindung nilai)," ungkapnya.
Selain faktor eksternal, ekonomi Indonesia juga mendapat tantangan dari dalam negeri. Misalnya rencana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidsi.
Di satu sisi, kebijakan ini dibutuhkan untuk mengatasi defisit transaksi berjalan. Tapi di sisi lain menyebabkan tekanan inflasi dan penurunan daya beli masyarakat.
"Ada risiko inflasi akibat price adjustment BBM, listrik, gas. Ini jadi ancaman kesejahteraan rakyat, mencuri pendapatan rakyat," tuturnya.
(drk/hds)
Berita ini juga dapat dibaca melalui m.detik.com dan aplikasi detikcom untuk BlackBerry, Android, iOS & Windows Phone. Install sekarang!