PPI Belanda: Ini Tantangan Ketahanan Pangan RI

Wageningen - Sektor pertanian, peternakan, dan perikanan menghadapi kendala. Impor dengan jumlah terbatas tetap perlu dilakukan, demi menjamin ketersediaan pangan.

Demikian benang merah pemaparan Atase Pertanian KBRI Roma Dr. Hamim dalam diskusi Lingkar Inspirasi 5: Ketahanan Pangan Indonesia, yang digelar Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Kota Wageningen dan PPI Belanda (organisasi payung PPI seluruh Belanda) seperti disampaikan Ryvo Octaviano kepada detikcom, Selasa (26/2/2013).


"Ketahanan pangan sendiri bertumpu kepada tiga sektor utama yaitu pertanian, peternakan, dan perikanan. Saat ini sektor-sektor tersebut menghadapi berbagai kendala dan tantangan," ujar Hamim.


Sebagai contoh, lanjut Hamim, Indonesia saat ini mengalami tak hanya penyusutan lahan pertanian, tapi juga sistem pengairan seperti waduk dan irigasi makin banyak yang tidak berfungsi.


"Mustahil menggenjot produksi beras tanpa menyediakan pengairannya, karena untuk 1 kg beras diperlukan sekitar 4000 liter air. Selain itu, tenaga ahli dari tahun ke tahun jumlahnya mengalami penurunan. Makin sedikit pelajar yang ingin menjadi sarjana pertanian," terang Hamim.


Menurut Hamim, ketahanan pangan secara umum dibangun dari ketersediaan pangan yakni tersedianya bahan pangan di pasaran dan diikuti dengan keterjangkauan harga pangan oleh masyarakat. Sedangkan kemandirian pangan berarti seberapa mampu suatu negara memenuhi kebutuhannya sendiri.


"Idealnya, Indonesia bisa memproduksi semua kebutuhan pangannya sendiri. Namun demikian, akan selalu ada fluktuasi gap antara produksi dalam negeri dan kebutuhan masyarakat," papar doktor lulusan University of Essex ini.


Oleh karena itu, imbuh Hamim, untuk menjamin ketersediaan pangan impor dengan jumlah terbatas tetap perlu dilakukan. Hal ini untuk meredam fluktuasi harga yang tajam saat ada momen tertentu seperti gagal panen ataupun hari-hari besar.


Yang menjadi dilema adalah menentukan seberapa besar cadangan pangan yang diperoleh via impor tersebut. Jika berlebih maka akan menjatuhkan harga pasaran yang otomatis akan memukul petani dan nelayan.


"Namun jika kekurangan, maka terjadi kelangkaan barang dan lonjakan harga yang menyulitkan masyarakat," pungkas Hamim.


Over-eksploitasi


Sebelumnya Shinta Yuniarta, kandidat Phd pada Wageningen University and Research Center (WUR), menyoroti perikanan tangkap di Indonesia yang sudah over-eksploitasi dan pentingnya menjaga keberlanjutan demi ketahanan pangan.


"Industri perikanan Indonesia semestinya menerapkan konsep perikanan berkelanjutan, yang telah diadopsi di negara-negara maju untuk menjamin keberlanjutan sumber daya perikanan," ujar Shinta.


Dosen pada Institut Pertanian Bogor (IPB) menyarankan agar masyarakat Indonesia meningkatkan konsumsi ikan dengan diiringi kepedulian untuk memilih-milih jenis ikan yang dibeli.


"Jika permintaan terhadap ikan-ikan yang hampir punah tersebut menurun maka otomatis eksploitasi terhadapnya menjadi berkurang," demikian Shinta.


Petani dan Nelayan


Pada sesi diskusi, nasib petani dan nelayan Indonesia juga menjadi perhatian. Jika Indonesia ingin menjamin kemandirian pangan, maka kuncinya adalah menyejahterakan dan memberdayakan petani dan nelayan.


Selama ini petani dan nelayan hanya menjadi pelaku ekonomi termarjinalkan, sedangkan mata rantai perdagangan dikuasai oleh para tengkulak. Saat harga komoditas mahal, maka yang menikmati untung besar adalah tengkulak dan saat harga jatuh, petani yang rugi dan tengkulak selalu untung.


Di sisi lain, pengetahuan petani pun masih terbatas. Misalnya dalam penggunaan pupuk, masih banyak petani menggunakan pupuk sampai dua kali lipat dari semestinya. Akibatnya biaya produksi menjadi tinggi dan otomatis merugikan petani juga lebih mencemari lingkungan.


Dr. Hamim berpendapat sudah saatnya Indonesia mulai beranjak menuju industri pertanian atau perikanan berorientasi pada pembentukan value chain, maksudnya tidak sekadar memproduksi komoditas primer tapi sampai menjadi produk olahan dan turunannya.


"Hal ini akan membuat petani dan nelayan lebih berdaya dan bisa untung. Diperlukan dukungan teknologi, finansial, dan kebijakan yang lebih berpihak pada petani dan nelayan," pungkas Hamim.


Lingkar Inspirasi merupakan forum diskusi bulanan PPI Belanda, di mana pada edisi ke-5 kali ini diselenggarakan di Ruang C214, Forum Building, Wageningen University, Sabtu (23/2/2013).


"Diharapkan melalui diskusi ini mahasiswa Indonesia di Belanda dapat menemukan tempat untuk mengasah kesadaran serta menjadikan pengetahuan mereka relevan dengan kebutuhan dan kondisi bangsa," ujar Rihan Handaulah, Kadiv Kajian Strategis dan Keilmuan PPI Belanda.


Menurut Rihan, masukan-masukan yang didapat selain memperkaya pengetahuan peserta, juga diharapkan bisa didengar oleh para pembuat kebijakan dan seluruh pemangku kepentingan yang terkait bidang ini.


(es/es)