"Awalnya saya jual bawang putih lokal dari Tawangmangu bahkan dari Nusa Tenggara Barat (NTB) sejak tahun 1983 sampai tahun 1992 dengan kebutuhan 100-200 kg (per hari)," tutur Anas kepada pimpinan sidang Komisi Pengawas Persaingan Usaha saat gelar sidang dugaan kartel bawang putih di Gedung KPPU Jakarta, Senin (21/10/2013).
Ia yang menjadi saksi dalam kasus ini menjelaskan sentra bawang putih Tawangmangu, Karanganyar dan Pulau Lombok (NTB) volumenya tidak terlalu banyak. Sebab produktivitas bawang putih lokal sangat rendah bila dibanding dengan produk sejenis dari China.
Menurut datanya produksi bawang putih lokal hanya mencapai 10 sampai 13 ton/hektar/musim tanam. Sedangkan produktivitas bawang putih di China bisa mencapai 30 sampai 40 ton/hektar/musim tanam.
"Bawang putih China pasokan lebih banyak dibandingkan pasokan lokal. Pasokan bawang putih lokal hanya 10% dari total kebutuhan pasar," imbuhnya.
Padahal bila dinilai dari segi kualitas, bawang putih lokal tidak kalah bila dibandingkan bawang putih impor. Rasa bawang putih lokal lebih baik ketimbang bawang impor. Namun bawang putih lokal kalah bila dinilai dari sisi jumlah dan kelanjutan pasokannya.
"Kalau untuk kualitas fisik perbandingannya 1:10 itu ukuran, 1 itu kita, 10 itu China jadi kalah fisik. Sedangkan kalau soal rasa mungkin lebih bagus bawang kita daripada bawang China," cetusnya.
(wij/hen)
Berita ini juga dapat dibaca melalui m.detik.com dan aplikasi detikcom untuk BlackBerry, Android, iOS & Windows Phone. Install sekarang!
