Masih Ada Korban Investasi Bodong, OJK Dikritik

Jakarta -Sejak tahun ini, pengawasan dan regulasi seluruh industri sektor keuangan di Indonesia dipegang oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Lembaga baru ini dikritik karena masih adanya korban investasi bodong.

Kepala Ekonomi PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) Ryan Kiryanto mengungkapkan, saat ini masih banyak bermunculan investasi bodong di Indonesia. Ini menjadi salah satu hal yang harus menjadi fokus OJK.


"Perpindahan BI ke OJK ada konsekuensi legal. Ini PR untuk pemerintahan baru nanti. Tadi pagi saya baca masih ada korban investasi bodong. Ke depan harusnya tidak ada lagi muncul investasi bodong. Jadi perlu digali lebih tajam apa penyebabnya. Ini menjadi pengawasan OJK," kata Ryan saat acara Seminar Masa Depan Perusahaan Keuangan dan Perbankan Pasca OJK yang diadakan Warta Ekonomi, di Hotel Grand Sahid, Jakarta, Senin (14/4/2014).


Ryan menjelaskan, pengawasan OJK tersebut mau tidak mau dikaitkan dengan pungutan yang sudah diberlakukan OJK terhadap seluruh industri jasa keuangan. Para pelaku di industri jasa keuangan mulai menagih apa manfaat dari hasil pungutan tersebut.


"Walaupun sebenarnya pelaku industri keuangan teriak kok dipungut waktu di BI nggak ada pungutan. Apa benefit atau manfaat atas pungutan itu? Karena sudah ada UU tidak ada dalih untuk menolak, walaupun ujung-ujungnya tertransmisi ke konsumen juga," terang dia.


Lebih jauh Ryan mengungkapkan, masih maraknya investasi bodong ini mendorong para pelaku industri jasa keuangan untuk menerapkan sistem Good Corporate Governance (GCG) yang lebih ketat. Ini untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan.


"Perlu adanya lembaga keuangan yang dikelola dengan baik, jelas, kita bicara GCG. Muncul investasi bodong karena kepiawaian si pelaku karena regulasinya blur, nggak jelas, jadi ini kasus terus menggelinding dan belum clear," jelasnya.


Untuk itu, pihaknya meminta kepada OJK untuk melakukan pengawasan secara tegas terhadap produk-produk investasi yang dikeluarkan suatu perusahaan keuangan tertentu.


"Jangan muncul kasus dulu baru bereaksi. Perlu diindentifikasi produk-produk mana yang potensial sehingga tidak merugikan nasabah," tutupnya.


(drk/dnl)

Berita ini juga dapat dibaca melalui m.detik.com dan aplikasi detikcom untuk BlackBerry, Android, iOS & Windows Phone. Install sekarang!