Bisnis Pengembang Properti Bisa 'Digoyang' Tambahan Pajak

Jakarta -Pemerintah berniat memperluas pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) pasal 22 untuk sejumlah barang mewah. Salah satunya adalah pajak untuk properti, baik rumah tapak (landed house) maupun apartemen yang berharga lebih dari Rp 2 miliar.

Pengenaan pajak baru ini diperkirakan bisa mengganggu kinerja perusahaan-perusahaan properti, termasuk emiten properti yang melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI).


Menurut Kepala Riset NH Korindo, Reza Priyambada, pajak baru ini biasanya langsung dibebankan kepada pembeli rumah, sehingga harga jualnya menjadi lebih tinggi. Nah, harga jual yang makin tinggi ini dikhawatirkan bisa menurunkan daya beli masyarakat.


"Pelaku pasar melihat sektor properti yang selama ini menjadi andalan akan terkena pengaruh dari pajak tambahan ini. Karena otomatis konsumen akan dapat tambahan beban," katanya kepada detikFinance, Senin (23/3/2015).


Pajak ini hanya dikenakan kepada penjualan residensial, baik rumah maupun apartemen, yang harganya lebih tinggi dari Rp 2 miliar. Rata-rata, perusahaan properti BEI adalah yang bermain di segmen premium dengan rumah-rumah berharga cukup tinggi.


Perusahaan-perusahaan properti biasanya menyeimbangkan portofolio dengan memperluas proyek, jadi tidak hanya bermain di residensial saja tapi juga di sektor komersial, seperti perkantoran, mal, dan lain-lain.


"Kalau seperti Pakuwon yang bermain di dua sektor sekaligus. Kalau BDS (Bumi Serpong Damai/BSDE) selama ini banyak residensial, tapi sekarang sudah mulai juga bermain di mal dan perkantoran," katanya.Next


(ang/dnl)

Redaksi: redaksi[at]detikfinance.com

Informasi pemasangan iklan

hubungi : sales[at]detik.com