Pengembang Keberatan Sisihkan 20% Rusun Komersial untuk Segmen Bawah

Jakarta - Kalangan pengembang properti masih keberatan dengan adanya regulasi dalam UU No 20/2011 tentang rumah susun (rusun) yang mewajibkan pengembang harus membangun 20% rusun umum (segmen bawah) dari luas lantai rusun komersial.

"Jadi ketentuan 20% itu diupayakan untuk ditinjau kembali," kata Ketua Umum DPP Real Estate Indonesia (REI) Setyo Maharso di acara Focus Group Discusion Urgensi PP Tentang Rusun Dalam Mengatasi Permasalahan Rusun di Indonesia, di Jakarta Design Centre, Jakarta, Rabu (27/2/2013).


Ia beralasan, dengan adanya regulasi ini, pengembang mengalami banyak kendala karena akan menambah kewajiban dan menambah biaya. Kebijakan ini juga akan mempersulit pengembang ketika membangun rusun di areal yang harga tanahnya sudah tinggi.


"Ini harus kita perhatikan, jangan sampai kita membangun tapi nanti tidak ada yang beli. Kita berpikir kalau itu ada di kab/kota, ini akan tidak jalan. Dan kalau tidak jalan Pak Menteri kena, kita juga akan kena," tegasnya.


Dia pun mengusulkan ada kelonggaran dari implementasi regulasi ini, yang awalnya hanya berlaku di setiap 1 wilayah kab/kota agar diperluas.


"Pemenuhan kewajiban dilonggarkan dalam 1 provinsi bahkan dalam wilayah Indonesia, sesuai kebutuhan untuk lebih memungkinkan harga beli tanah terjangkau," katanya.


Secara terpisah, Deputi Bidang Perumahan Formal Kementerian Perumahan Rakyat Pangihutan Marpaung mengatakan, implementasi dari peraturan ini akan lebih difungsikan bagi masyarakat berpenghasilan rendah, agar mampu membeli rumah susun umum di tengah pesatnya pembangunan rusun komersial.


"Tujuan daripada UU ini ialah lebih ada keberpihakan terhadap masyakarat rendah. Memastikan agar masyarakat berpenghasilan rendah ini memiliki rusun," katanya.


Sebelumnya Pakar hukum properti Erwin Kallo mengatakan Undang-undang (UU) Rumah Susun (Rusun) dikhawatirkan mengalami kendala saat diterapkan di daerah. Hal ini terkait adanya kewajiban bagi pengembang rumah susun (rusun) komersial untuk menyediakan rumah susun umum atau kelas bawah sekurang-kurangnya 20% dari total luas lantai rumah susun komersial yang dibangun.


Ia mengatakan ketentuan soal 20% penyedian rusun umum pada pembangunan rusun komersial hanya cocok di kota-kota besar seperti Jakarta. Sementara di daerah seperti kota-kota lain yang masih memiliki lahan yang luas justru aturan itu dianggap tak memenuhi aspek kebutuhan yang terjadi di lapangan.


"Sekarang kalau di daerah seperti di Samarinda, yang masih lahannya luas, ngapain pengembang harus menyediakan rusun umum, karena lahan untuk membangun rumah (landed house) pun masih banyak," katanya beberapa waktu lalu.


Erwin menjelaskan meski ketentuan itu bermaksud untuk melindungi masyakat kurang mampu untuk mendapat kesempatan yang sama memiliki rumah, sebagai bentuk subsidi silang. Erwin khawatir penerapannya di lapangan tak akan semudah dari yang tertulis, terutama pembangunan rusun di daerah.


Erwin mencatat ada dua hal fundamental yang bermaslaah dalam RUU ini. Pertama dari aspek vertikal, ia menganggap RUU ini terlalu spesifik dan mengatur hal-hal teknis, contohnya adalah soal 20% alokasi untuk rusun umum. Seharusnya, lanjut Erwin, masalah-masalah teknis semacam itu diserahkan dalam peraturan pemerintah (PP) ata peraturan menteri (Permen) saja.


Selain itu RUU ini juga bermasalah dari sisi horizontol karena dianggap terlalu melebar dan menabrak UU lainnnya yang berkaitan, seperti UU terkait konstruksi dan UU No 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Pemukiman.


(zul/hen)