Saat menjaga pintu kereta, penghasilan Sugeng hanya sebesar Rp 50.000. Gaji yang diterima dinilai sangat minim bahkan kurang sebab biaya hidup rata-rata saat itu sekitar Rp 100.000 per bulan. Status kepegawaian KAI (dahulu Perusahaan Jawatan Kereta Api/PJKA) masih setara Pegawai Negeri Sipil, bukan seperti saat ini yang berstatus pegawai BUMN.
"Gaji nggak cukup sih. Gaji tahun 1981 nggak lebih dari Rp 50.000 per bulan dengan biaya hidup per bulan itu dari separuhnya," kata Sugeng saat berbincang dengan detikFinance di Stasiun Juanda, Jakarta Sabtu (23/3/2015).
Penghasilan karyawan KAI saat itu hingga periode 2009 relatif sangat minimal, bahkan relatif rendah dibandingkan perusahaan pelat merah lainnya. Sampai-sampai, Sugeng dan rekan-rekannya merasa minder jika berkumpul dengan pegawai BUMN lain. Padahal KAI merupakan perusahaan besar.
"Dulu kumpul antar BUMN kita merasa kecil. Padahal kita perusahaan besar," ujarnya.
Gaji rendah, kata Sugeng, menurunkan semangat kerja karyawan. Sementara tanggung jawab di sektor transportasi sangat tinggi, menyangkut nyawa jutaan rakyat Indonesia. Gaji rendah juga berpotensi besar menimbulkan aktivitas 'nakal' karena kesejahteraan minimal belum terpenuhi.
"Syaratnya adalah kecukupan kebutuhan dasar harus terpenuhi. Nggak mungkin saya dituntut kerja keras tapi nggak ada perbaikan penghasilan yang saya dapat. Omong kosong," terangnya.Next
(feb/hds)
Redaksi: redaksi[at]detikfinance.com
Informasi pemasangan iklan
hubungi : sales[at]detik.com
