Menurut Agus Martowardojo, Gubernur Bank Indonesia, pelemahan nilai tukar rupiah dipengaruhi faktor eksternal dan internal. Dari luar negeri, ada sentimen negatif yang salah satunya adalah belum pastinya pengurangan kebijakan stimulus oleh bank sentral AS, yang sering disebut tapering off.
“Perdebatan jadi atau tidaknya tapering off ini menyebabkan risk on-risk off terus terjadi. Kemudian di negara-negara berkembang, khususnya China dan India, ada tekanan pertumbuhan ekonomi,” kata Agus baru-baru ini.
Sedangkan faktor internal, lanjut Agus, adalah tingginya permintaan valas untuk pembayaran utang luar negeri sektor swasta. Selain itu, para investor di pasar modal jelang akhir tahun juga mulai melakukan reposisi terhadap aset mereka. Hal yang lebih fundamental seperti transaksi berjalan (current account) yang mengalami defisit pada 26 bulan terakhir juga menjadi sentimen negatif.
Chatib Basri, Menteri Keuangan, mengemukakan pendapat senada. “Memang ada tekanan di sisi internal karena kebutuhan valas yang cukup besar. Perusahaan harus membayar utang, impor, dan sebagainya. Besarnya sekitar US$ 6,3 miliar,” kata dia.
Selain itu, faktor seperti membaiknya angka pengangguran di AS menyebabkan investor kembali memburu aset di Negeri Paman Sam. Ini menyebabkan pelemahan sejumlah mata uang terutama di negara-negara berkembang. “Bukan hanya rupiah, tetapi juga rupee, peso, dan baht,” ujar Chatib.
Melihat faktor-faktor tersebut, Agus meyakini bahwa tekanan terhadap rupiah hanya bersifat temporer. “Tekanan terhadap rupiah adalah situasional, kita jangan panik. Pelemahan rupiah masih selaras dengan situasi regional,” tegasnya.Next
(hds/DES)
Berita ini juga dapat dibaca melalui m.detik.com dan aplikasi detikcom untuk BlackBerry, Android, iOS & Windows Phone. Install sekarang!