Kisah Pegawai BUMN, Pilih Pinjam ke Orang Tua Daripada Ambil KPR

Jakarta -Kredit Pemilikan Rumah (KPR) merupakan opsi yang banyak dipilih oleh masyarakat untuk dapat membeli rumah. Namun banyak pula yang mengeluh karena bunga KPR yang bisa melonjak tinggi setelah masa 'bulan madu'.

Pembaca detikFinance bernama Sofiyudin Aziz punya cerita unik. Sebelum membeli rumah, pegawai di sebuah BUMN ini melakukan riset kecil-kecilan seputar pembiayaannya.


"Awal tahun ini saya berniat untuk membeli rumah secara KPR. Saya sudah mengetahui skema cicilan KPR di bank konvensional. Skema anuitas membuat saya mundur," sebutnya laki-laki berusia 31 tahun ini, Selasa (26/8/2014).


Skema cicilan ini, tambah Sofiyudin, membuat nasabah membayar bunga lebih besar dibandingkan cicilan pokok pada periode 5-8 tahun pertama. "Misalnya KPR Rp 200 juta. Di tahun-tahun awal kita akan membayar cicilan Rp 3 juta/bulan selama 15 tahun dengan rincian Rp 900 ribu untuk pokok cicilan dan Rp 2,1 juta untuk bunga. Di akhir periode pinjaman akan berkebalikan, pokok cicilan Rp 2,1 juta dan Rp 900 ribu untuk bunga," paparnya.


Sofiyudin kemudian membandingkan dengan KPR bank syariah. Namun, dia kembali harus kecewa karena bank syariah menentukan bagi hasil dengan melihat praktik di bank konvensional.


"Memang skema cicilannya tidak anuitas melainkan flat, tapi tetap saja bikin sakit hati. Dari cicilan Rp 3 juta/bulan selama 15 tahun, saya membayar Rp 1,6 juta untuk pokok pinjaman dan Rp 1,4 juta untuk bunganya, flat hingga akhir periode pinjaman. Katanya rate bagi hasil hanya 12.5%, tapi kenapa cicilannya nyaris 50:50 begitu ya?" terangnya.


Setelah mencermati berbagai alternatif, akhirnya Sofiyudin melirik opsi terakhir. "Akhirnya saya lebih memilih meminjam dana dari orang tua dan mertua. Akan saya cicil, insya Allah, tanpa bunga," ujarnya.


(ang/hds)

Berita ini juga dapat dibaca melalui m.detik.com dan aplikasi detikcom untuk BlackBerry, Android, iOS & Windows Phone. Install sekarang!