Seorang petani plasma Pabrik Gula (PG) Blora, PT Gendhis Multi Manis (GMM) Anton Sudibyo mengatakan, selama ini BPP petani tebu rata-rata Rp 30,5 juta per hektar. Dana itu untuk membiayai selama musim tanam seperti pengolahan tanah, biaya garap, biaya pupuk, pembasmi hama, bibit, hingga tebang angkut.
Anton yang memiliki lahan tebu di Blora totalnya mencapai 40 hektar lebih, sedikitnya harus menyiapkan modal Rp 1,2 miliar untuk periode satu masa tanam dan panen tebu selama 7-10 bulan.
Setiap musim tebu kurang lebih ia menghasilkan 6.000 ton tebu. Bila harga tebu sedang bagus, tebunya bisa dihargai Rp 500.000 per ton atau Rp 50.000 per kwintal tebu atau kurang lebih Rp 3 miliar. Namun ketika harga tebu sedang tak bagus, harga bersih yang ia dapat hanya setara Rp 180.000 per ton atau Rp 18.000 per kwintal atau kurang lebih dengan luas lahan 40 hektar hanya dapat penghasilan sekitar Rp 1 miliar atau di bawah BPP.
"Kalau satu ton Rp 350.000 ton dulu paling murah itu masih bisa untung, tapi kalau satu ton cuma. Rp 180.000 kita rugi ratusan juta," kata Anton di pabrik gula Blora, Sabtu, (20/12/2014).
Anton mengatakan, ketika harga gula petani saat ini di bawah Harga Patokan Petani (HPP) sebesar Rp 8.500, maka sangat sulit untuk bisa menanam kembali tebu. Ia berharap dengan kehadiran PG Blora, yang berani membeli harga gula petani di atas HPP maka kerugiannya bisa berakhir.
Menurutnya, sebelum ada PG Blora, sejak 2007 ia harus menjual tebunya ke pabrik-pabrik gula yang ada di Madiun, Jawa Timur dengan ongkos angkut jauh lebih mahal karena jarak yang jauh. Kini ongkos angkut bisa dipangkas karena ada PG Blora yang baru beroperasi Juli 2014 lalu.Next
(hen/rrd)
