Mengintip Rumitnya Perakitan si 'Burung Besi' Raksasa A380 Asal Eropa

Jakarta - Pabrikan Airbus mengakui merakit pesawat raksasa sangat rumit. Ada banyak sistem elektrik, kabel, dan struktur yang sangat istimewa. Toh demikian, Airbus berhasil mewujudkannya. Inilah cerita dari pusat perakitan 'burung besi' kebanggaan Eropa di Toulouse, Prancis.

Usai mengunjungi pusat perakitan pesawat kelas medium A320, detikFinance dan jurnalis dari berbagai media asal Indonesia dan konsultan media Airbus diminta naik bus. Sekitar pukul 11.15 waktu Prancis (pukul 17.15 WIB), Selasa (19/3/2013), kami berangkat. Lokasi tujuan tak jauh dari pusat perakitan A320. Satu kompleks, beda area. Hanya butuh waktu 15 menit, bus telah sampai di pintu gerbang yang tertutup dengan 2 penjaga.


Seorang pria masuk ke dalam bus. Sambil berdiri di bagian depan bus dan menghadap anggota rombongan, dia memperkenalkan diri sebagai Ricardo. Nama lengkapnya Ricardo Mario Spimpolo. Di Airbus, ia menjabat sebagai Analis Senior Pemasaran Produk Keluarga A380.


Tak banyak yang Ricardo sampaikan selain ucapan perkenalan diri dengan bumbu humor. Cukup mengesankan untuk sekadar mengurai cuaca yang 'ganjil': mentari bersinar terang tapi udara dingin menelusup tulang. Beginilah winter di Toulouse, kota kecil di barat daya Paris.


Bus berjalan pelan. Tepat di gerbang dengan palang setinggi 1 meter, pintu bus terbuka dan Ricardo melongokkan kepalanya. Ia mengucapkan sesuatu dalam bahasa Prancis. Bagi rombongan yang hampir semua tak mengerti bahasa Prancis, yang dapat tereja hanya 'media' dan 'Indonesia'. Jika ditafsirkan bebas, kemungkinan Ricardo menyatakan, 'ini rombongan jurnalis dari Indonesia'.


Palang pintu terbuka dan bus melaju mulus. Di bagian kanan dekat pintu gerbang, kami melihat pesawat-pesawat rongsokan. Diparkir di lahan seluas lapangan sepakbola. Sebagian besar pesawat berbadan kecil, seperti pesawat latih.


Ada berbagai gedung di kompleks itu. Bus belok ke kiri lalu berhenti di depan gedung yang jauh lebih besar dibanding dua gedung yang telah kami kunjungi. Beberapa pekerja dengan kemeja warna biru dengan punggung bertuliskan 'Airbus' keluar masuk pintu otomatis.


"Oke, mari masuk. Jangan sampai terpencar, karena kita hanya punya sedikit waktu," kata Ricardo usai dibisiki pemandu rombongan soal jadwal kunjungan.


Pekerja lalu lalang, keluar masuk pintu. Sebagian di antaranya melirik Ricardo dan rombongan, lalu berbincang dengan sejawatnya.


Masuk pintu utama, Ricardo langsung menunjuk sebelah kanan. Ada tiga bentuk kepala dan badan pesawat di gedung yang jauh lebih besar di banding tempat perakitan pesawat A320. Paling kiri berupa potongan besi bolong, sebelahnya berupa bodi penuh rangkaian listrik, satu lainnya berupa bentuk jadi.


"Seperti yang Anda lihat, ada puluhan ribu rangkaian untuk kepala dan badan saja. Ini adalah pekerjaan yang rumit dan luar biasa," katanya.


Penjelasan panjang lebar itu disambung dengan langkah kaki Ricardo. Langkahnya terhenti di ruang terbuka kecil tak jauh dari 3 potongan kepala dan badan pesawat raksasa itu. Dia merinci bagian-bagian pesawat dibuat oleh konsorsium Eropa berlabel The Europan Aeronautic Defence and Space Company (EADS). Lokasi pembuatannya di berbagai kota, seperti Hamburg (Jerman), Getafe (Spanyol), Nantes (Prancis), dan lain sebagainya. Bagian-bagian itulah yang dirangkai di pabrik Airbus di Toulouse.


Ricardo mengajak kami masuk lebih dalam. Di sebelah kiri tampak sayap kanan pesawat raksasa. Di sebelahnya ada kepala dan lambung pesawat. Di sebelah lagi, ada sayap kiri pesawat. Saat kami datang, posisi sayap berada lebih rendah dibanding kepala dan badan pesawat. Belum saatnya digabung, mungkin.


Seberapa lebar dan besar pesawat jumbo ini? Jika dibentangkan, lebar burung besi ini mencapai hampir 80 meter atau sepertiga lapangan sepakbola. Panjang hidung ke ekor 73 meter. Tinggi pesawat sekitar 24 meter terdiri dari dua dek, hampir sama dengan rumah berlantai 2!


Bagaimana cara mengangkat sayap atau bagian pesawat segede itu? "Lihat, itu alatnya," kata Ricardo sambil menunjuk derek besar di bagian atap gedung. Derek itu bisa bergerak ke atas bawah dan samping. Dengan alat itulah, bagian-bagian pesawat yang tak mungkin diangkat oleh manusia sekuat apapun ini, digabungkan.


Gedung pembuatan A380 terdiri dari dua bagian. Satu bagian sebagai tempat perakitan, satu lainnya sebagai ruang 'finishing'. Bagian finishing disekat tembok dan baja. Di dalamnya ada mesin Roll-Royce dan 3-4 pesawat yang sudah jadi. Dari logonya terlihat pesawat-pesawat itu dipesan maskapai Timur Tengah dan Asia Pasifik.


"Jika pesawat sudah clear (selesai), maka pintu akan terbuka dan pesawat siap digunakan," kata Ricardo sambil menyentuh baja sekeliling gedung.


A380 didesain dalam beragam jenis. Ada yang untuk satu kelas (ekonomi), dua kelas (bisnis dan ekonomi), dan tiga kelas (kelas utama, bisnis, dan ekonomi). Jika dibuat untuk satu kelas, pesawat ini bisa mengangkut hingga 844 penumpang.


Dengan kecepatan maksimal 1000 km per jam dan daya jelajah hampir 16 ribu km, sangat pantas jika pesawat raksasa ini digunakan sebagai moda transportasi jarak jauh. Asia ke Amerika tanpa transit pun bisa.


Di ujung pintu keluar, Ricardo menunggu anggota rombongan yang tertinggal. Begitu semua berkumpul, ia mengajak kami keluar. Ia menunjuk beberapa pesawat yang sudah jadi dan diparkir di kompleks pabrik.


Pukul 12.20 waktu setempat. Matahari sangat terik, tapi udara tetap saja dingin. Semua anggota rombongan naik bus. Tur ditutup dengan makan siang ala Prancis di restoran tak jauh dari pintu masuk pabrik. Untung, menu yang terdiri dari minuman sebagai pembuka, roti, bubur dengan lauk ati bebek, dan sayuran, tidak jumbo laiknya pesawat produksi Airbus. Jadi, kami tak malu jika tidak menghabiskannya. Maklum, menu itu tak ramah di perut anggota rombongan yang sebagian baru kali pertama menginjakkan kaki di Eropa.


(try/dru)