6 Alasan Pasar Properti Indonesia Masih Jauh dari Bubble

Jakarta - Indonesia Property Watch (IPW) menilai prediksi Bank Dunia pasar properti di Indonesia mengalami bubble atau gelembung tak beralasan. Walaupun IPW mengakui pasar properti Indonesia memang mengalami kenaikan pasar dan harga yang signifikan dalam 3 tahun terakhir.

Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch Ali Tranghanda mengatakan pembangunan proyek-proyek properti melejit di Indonesia beberapa tahun terakhir. Namun demikian yang terjadi bukanlah bubble melainkan over value atau harga properti dipatok lebih dari harga sesungguhnya.


"Terdapat perbedaan yang prinsip dalam penyampaian kedua istilah tersebut. Fundamental pasar properti Indonesia sangat berbeda dengan pasar properti di negara lain," kata Ali Tranghanda seperti dikutip dalam situs resminya, Kamis (21/3/2013)


Ia menuturkan ada beberapa data yang mendasar yang diyakini bubble properti di Indonesia tak akan terjadi, antara lain:


1. Pasar properti di Indonesia mengalami kenaikan permintaan dan pertumbuhan harga yang tinggi lebih dikarenakan siklus alamiah properti yang sedang dalam tren naik. Tahun 2009 siklus properti Indonesia memasuki tahap percepatan dan diperkirakan tahun 2013 mencapai titik tertinggi dengan kemungkinan terjadinya perlambatan pasar.


"Perlambatan ini telah dirasakan memasuki awal tahun 2013 dengan mulai melambatnya pertumbuhan harga dan mulai berkurangnya proyek-proyek baru yang dibangun relatif dibandingkan tahun-tahun sebelumnya," katanya.


2. Peningkatan KPR yang tinggi merupakan gambaran permintaan pasar konsumen yang tinggi khususnya end user atau pengguna langsung. Karena sebesar 75% pengguna KPR merupakan end user.


"Sehingga pasar konsumen relatif lebih nyata dibandingkan pasar investor yang merupakan pasar semu. Namun demikian aktifitas pasar investor pun mulai melambat," katanya.


3. Peranan konsumen investor sangat mempengaruhi peningkatan pasar properti yang tinggi namun memasuki tahun 2013 pasar relatif sudah menunjukkan kejenuhan karena harga yang telah terlalu tinggi dan yang terjadi adalah over value dan bukan bubble.


"Harga yang terlalu tinggi di pasar primer menyebabkan tidak terjadinya keseimbangan pasar wajar, karena harga di pasar sekunder ternyata lebih rendah. Over value terjadi bila harga di pasar primer dibandingkan harga sekunder terjadi perbedaan 15%-20%. Hal ini menyebabkan pasar akan bergerak ke keseimbangan pasar baru di tahun 2013," jelas Ali.


4. Kenaikan harga yang signifikan hanya terjadi di segmen menengah atas dan terjadi khususnya di sektor landed residensial, apartemen, dan harga sewa perkantoran. Dan itupun terjadi di beberapa lokasi. Sehingga tidak menggambarkan pasar properti secara menyeluruh.


5. Dari sisi perbankan kredit, rasio kredit bermasalah pun masih dibawah 3% dengan rasio kredit properti terhadap keseluruhan kredit masih dibawah 15% sehingga terlalu dini menyebutkan pasar properti sudah mengalami bubble.


6. Perbedaan pasar properti Indonesia dengan pasar properti di negara lain adalah bahwa pasar properti Indonesia didominasi oleh pasar lokal yang kuat. Berbeda dengan pasar Singapura, China, dan Vietnam serta negera-negara tetangga lain yang mengalami bubble karena pasar properti lebih banyak dikuasai oleh asing sehingga ketika terjadi krisis di negara asalnya, maka akan terpengaruh terhadap nilai properti di negara tersebut.


"Dibukanya keran investasi asing yang besar-besaran di China telah mengakibatkan dampak bubble bagi properti di negara asal. Karena patokan harga yang terjadi adalah patokan harga dengan daya beli dari luar negeri yang berlipat-lipat sehingga pasar lokal tidak dapat membeli," jelas Ali.


Menurutnya hal itu lah yang merupakan bubble sebenarnya karena rentang harga yang terjadi sangat tinggi. Ia menuturkan berdasarkan kasus subprime mortgage di Amerika yang tidak bisa disamakan dengan kasus di Indonesia dan sangat jauh berbeda karena fundamental kredit KPR di Indonesia relatif masih konvensional.


Sedangkan di Amerika pasar KPR diperjual belikan berkali-kali dalam sistem derivatif saham yang menyebabkan harga menjadi berlipat-lipat dari aslinya. Ketika pasar saham anjlok maka gelembung properti akan meletus dan menhantam pasar perumahan disana.


Ia mencatat pasar properti memasuki tahun 2013 telah mengalami perlambatan khusus di segmen menengah atas. Para pelaku pasar khususnya pengembang dan investor relatif telah mulai merasakan kejenuhan pasar di segmen ini. Karenanya saat ini pasar mulai bergeser ke pasar menengah dengan tangkapan pasar end user yang lebih banyak.


"Peningkatan pasar properti yang tinggi ini memang berdampak terhadap kenaikan tanah yang disediakan untuk pasar menengah sampai bawah," katanya.


(hen/dnl)