"Ada sekitar 30-31 ribu TKI di Korsel. Sebenarnya ada sekitar 35 ribu TKI, tetapi yang 5 ribu adalah para over-stayer," kata John A Prianto, Duta Besar RI untuk Korea Selatan saat menemui perwakilan Bank Rakyat Indonesia (BRI) di kantornya, Seoul, Kamis (21/3/2013).
Overstayer yang dimaksud adalah para TKI yang tidak langsung pulang ke tanah air setelah masa kontrak kerjanya habis, dan memilih memperpanjang kontrak kerja tanpa memperbaharui izin kerjanya. Alasannya bermacam-macam, salah satunya takut tidak mendapatkan pekerjaan lalu jatuh miskin lagi sepulangnya ke Indonesia.
Menurut John, keberadaan overstayer yang jumlahnya diperkirakan sekitar 5 juta ini berdampak cukup luas. Dari sisi ketenagakerjaan, dampaknya adalah kuota untuk tenaga kerja asal Indonesia akan semakin dibatasi.
"Kita mengenal EPS, Employment Permit System. Itu perlu ditingkatkan. Harus dibina, klau kontrak (TKI) habis, maka yang harusnya pulang sebaiknya pulang. Jadi biar kuota kita nggak dikasih ke negara lain, China misalnya," lanjut John.
Dibandingkan jumlah tenaga kerja asal China yang bekerja di Korea Selatan, jumlah TKI memang tidak seberapa. Contohnya di Kota Ansan jumlah TKI sekitar 1.400 tapi yang dari China diperkirakan jauh lebih besar yakni mencapai 31 ribu.
Kondisi ini berdampak pula pada peluang mengembangkan bisnis pembiayaan mikro. Jika kuota tenaga kerja bertambah, maka bisnis pembiayaan mikro untuk TKI akan lebih menjanjikan.
"TKI di Korsel punya income yang lumayan, antara US$ 1.000 hingga US$ 3.000/bulan. Ambil mediannya saja, US$ 1.500/bulan. Jumlah TKI ada 30 juta. Jadi kalau dipetakan, ada 45 juta kali 12 bulan. Lebih dari 500 juta," kata John yang berharap angka itu bisa lebih besar lagi jika kuota tenaga kerja di Korsel ditingkatkan.
(up/dru)
