Jero menyebut, untuk kasus di Chili, runtuhan tambang hanya menyebabkan jalan keluar menuju mulut tambang tertutup namun penambang masih bisa beraktivitas di dalamnya. Sementara di Papua, ruangan pelatihan di terowongan Big Gossan runtuh tepat di atas 38 pekerja. Hal ini, menurutnya yang membuat proses evakuasi sangat sulit dan menewaskan 28 pekerja.
"Jadi ruangan itu (Papua) di bawah tanah, kemudian ambruk. Jadi berbeda berbeda yang terjadi Chili. Jalannya beda," kata Jero kepada wartawan di Kementerian ESDM Jakarta, Rabu (22/5/2013).
Proses evakuasi pun tergolong sangat sulit. Meskipun menggunakan alat berat, saat proses pemindahan bebatuan yang beratnya mencapai 500 ton, acapkali menimbulkan runtuhan susulan dari material tambang. Hal ini, bisa membahayakan para tim penyelamat.
"Batunya 500 ton, maka dipakai alat bor," sebutnya.
Pernyataan Jero ini, diperkuat oleh pendapat dari Presiden Direktur Freeport Indonesia, Rozik B. Soetjipto. Rozik memaparkan, musibah yang menimpa karyawannya itu, berbeda dengan musibah tambang di Cili.
"Saya tekankan juga, situasi yang terjadi, ini gak bisa sama dengan Chili. Ini ambruknya batuan," ujarnya.
(feb/ang)