Resign-nya Dirut PLN Bisa Picu Pengunduran Diri Bos-bos BUMN Lain

Jakarta -Profesional yang bekerja di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menjadi takut dan cemas pasca niatan mundur Direktur Utama PT PLN (Persero) Nur Pamudji. Nur berniat mundur karena adanya dugaan kriminalisasi terhadap profesi di PLN.

Pasalnya, jika semua kegiatan bisnis BUMN dianggap tindak kriminal dan merugikan negara, maka akan banyak bos-bos BUMN lain yang akan mundur. Padahal, setiap kerugian bisnis BUMN belum tentu kerugian negara sebagai pemegang saham.


Pengamat BUMN sekaligus mantan Sekretaris Kementerian BUMN, Said Didu, menjelaskan setiap aktivitas atau keputusan bisnis yang diambil direksi BUMN terus diawasi Kejaksaan dan Kepolisian. Apalagi saat keputusan tersebut memicu kerugian atau penambahan biaya.


"Sebenarnya banyak akan takutnya profesional BUMN kalau penafsiran hukum nggak bisa selesai maka tidak tertutup kemungkinan orang baik di BUMN akan pergi karena takut dikriminalisasi," ucap Said Didu saat berbincang dengan detikFinance, Senin (9/12/2013).


Menurutnya, asal-muasal munculnya kriminalisasi terhadap profesional BUMN adalah perbedaan penafsiran pada UU Nomer 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Said menjelaskan aparat penegak hukum memandang risiko bisnis sebagai kerugian negara.


Padahal setiap keputusan bisnis yang diambil Direksi BUMN meski memicu resiko atau penambahan biaya adalah untuk mencegah potensi kerugian yang lebih besar. Hal ini dinilai wajar dalam dunia bisnis.


"Ini memang harus diluruskan di dalam UU Keuangan Negara karena sekarang penegak hukum berpandangan bahwa setiap kerugian BUMN adalah potensi kerugian negara padahal kerugian yang terjadi di BUMN bisa karena risiko bisnis, bencana atau memang dalam rangka perintisan usaha. Dia bisa merugi," jelasnya.


Beranjak dari kasus di PLN, ia menyarankan penegak hukum meminta pendapat para ahli sebelum memutuskan apa potensi kerugian negara atau hanya resiko bisnis di BUMN. Selain itu internal Kementerian BUMN juga harus secara berkala menjalin komunikasi dengan aparat penegak hukum untuk menyamakan penafsiran.


"Harusnya ada kajian ahli dulu yang bisa memutuskan pertimbangan bisnis baru dianggap pidana," usulnya.


(feb/ang)

Berita ini juga dapat dibaca melalui m.detik.com dan aplikasi detikcom untuk BlackBerry, Android, iOS & Windows Phone. Install sekarang!