Ketua Umum Asosiasi Agribisnis Cabai Indonesia (AACI) Dadi Sudiyana mengatakan industri makanan di dalam negeri lebih memilih mengimpor cabai dalam bentuk pasta. Sedangkan permintaan dari cabai segar produksi petani lokal dikurangi.
"Ada beberapa industri yang mengimpor cabai dalam bentuk pasta atau saus. Jadi permintaan terhadap cabai rawit segar ini berkurang signifikan," kata Dadi kepada detikFinance, Senin (30/06/2014).
Mengutip data Kementerian Perdagangan (Kemendag), total impor cabai dalam bentuk pasta selama periode bulan Januari hingga Maret 2014 baru mencapai US$ 4.555 dengan volume 1.151 kg. Memang impor ini relatif rendah, namun ada potensi lonjakan impor pada periode April-Juni 2014 yang diduga mempengaruhi harga cabai segar petani lokal.
Total impor terbesar datang dari Australia dengan nilai impor US$ 3.799 atau 1.110 kg disusul Singapura sebesar US$ 614 atau 36 kg dan Thailand US$ 142 atau 5 kg.
Sedangkan bila dilihat dari tren impor cabai dalam bentuk pasta selama 5 tahun terakhir fluktuatif sejak tahun 2009 hingga 2013. Di tahun 2009 total impor cabai dalam bentuk pasta secara keseluruhan sebesar US$ 2,1 juta atau 1,2 juta kg.
Berikutnya di tahun 2010 naik sebesar US$ 2,7 juta atau 1,8 juta kg, turun di tahun 2011 US$ 2,6 juta atau 1,4 juta kg, kembali turun di tahun 2012 US$ 1,2 juta atau 719.780 kg dan tahun 2013 turun drastis menjadi US$ 95.382 atau 43.254 kg.
Selama tahun 2009 hingga 2012 total impor cabai pasta tertinggi datang dari negara Malaysia dengan total volume impor mencapai hampir US$ 8 juta dengan volume 5,1 juta kg. Sedangkan di tahun 2013 impor cabai pasta tertinggi datang dari Korea Selatan dengan nilai mencapai US$ 75.756 atau dengan volume 35.810 kg.
Selain negara-negara tersebut, Indonesia juga rajin mengimpor cabai dalam bentuk pasta dari negara Amerika Serikat, Jepang, Selandia Baru, Hong Kong, Tiongkok hingga Italia.
(wij/hen)
Berita ini juga dapat dibaca melalui m.detik.com dan aplikasi detikcom untuk BlackBerry, Android, iOS & Windows Phone. Install sekarang!