"Pada dasarnya adalah karena tarif bea masuk yang tinggi itu menyebabkan daya saing kita rendah dibandingkan produk negara lain," ungkap Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (P2HP) Saut P Hutagalung kepada detikFinance, akhir pekan lalu.
Ia mencontohkan misalnya tuna kaleng Indonesia ke Uni Eropa dikenakan tarif bea masuk 20,5%. Sementara tuna kaleng dari Timor-timur, Papua Nugini hingga Srilanka dikenakan pembebasan tarif bea masuk.
"Contoh nilai tuna kaleng kita ke Uni Eropa per tahun itu US$ 40 juta, kalau misalnya tidak kena tarif bea masuk tidak perlu membayar 20,5% dari US$ 40 juta atau US$ 5,6 juta," imbuhnya.
Dengan tingginya tarif bea masuk itu, maka harga tuna kaleng Indonesia di Uni Eropa lebih mahal dibandingkan produk serupa dari negara lain.
"Paling tidak dari segi harga dengan dikenakan 20%, maka tidak bisa bersaing karena harga lebih mahal. Di situ kerugian kita," jelasnya.
Saut mengatakan kementeriannya melayangkan surat ke Kementerian Perdagangan (Kemendag) dan Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) soal kenyataan ini.Next
(hen/ang)
Berita ini juga dapat dibaca melalui m.detik.com dan aplikasi detikcom untuk BlackBerry, Android, iOS & Windows Phone. Install sekarang!
